PENYIMPANGAN SEPUTAR SHALAT ‘ID

Perayaan melelahkan dalam menyongsong datangnya hari raya terjadi dimana-mana. Sebagian kaum muslimin larut dengan kesibukan yang banyak menyita waktu, tenaga dan biaya. Tak segan-segan, uangpun dikeluarkan tanpa rasa berat. Yang penting -menurut mereka- hari raya dapat dilalui dengan lebih berarti.

Kebiasaan seperti ini, pada setiap tahun bisa kita saksikan, hampir selalu mewarnai saat menjelang hari raya. Seakan kesibukan tersebut merupakan keharusan yang tidak dapat ditinggalkan oleh sebagian umat Muhammad n . Akan tetapi, disini lain, pada saat menjelang hari raya, banyak hal lebih penting yang dilalaikan.

Merebaknya kemungkaran banyak diremehkan oleh sebagian umat ini telah mengharu biru hari mulia ini. Beberapa kemungkaran itu, ada yang sudah sering terjadi di luar hari raya, dan bertambah parah ketika hari raya tiba. Misalnya, seperti menghias diri dengan mencukur jenggot, bersalam-salaman dengan wanita yang bukan mahramnya, tabarruj (pamer kecantikan), menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan menikmati musik, mengkhususkan waktu untuk ziarah kubur, serta membagikan makanan dan permen, duduk-duduk di atas kuburan, menghamburkan harta yang tidak ada faidahnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini menodai hari raya yang mulia ini.

Namun, dalam pembahasan kali ini, kami tidak akan mengupas persoalan tersebut di atas. Akan tetapi, kami akan fokuskan pada beberapa kesalahan dalam pelaksaan shalat ‘Id. Mudah-mudahan hal ini bisa menggugah kesadaran kita untuk lebih berhati-hati. Mendorong kita agar lebih bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu, bertanya kepada ‘alim, serta membaca kitab-kitab para ulama, sehingga bisa terhindar dan tidak terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan yang salah. Apalagi kesalahan itu seakan sudah membudaya.

Diantara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan shalat ‘Id, ialah sebagai berikut:

A. SEBAGIAN ORANG MEREMEHKAN SHALAT ‘ID DAN MENGANGGAPNYA SUNAT, SERTA TIDAK MENUNAIKANNYA DI LAPANGAN
Imam Asy Syaukani mengatakan; “Ketahuilah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya (‘Idul Fithri dan Adh-ha). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun hanya sekali. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk keluar shalat, sampai-sampai memerintahkan kepada para wanita, baik budak, wanita pingitan dan wanita yang sedang haid agar keluar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada yang haid agar menjauhi tempat shalat, menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslim. Sampai-sampai diperintahkan kepada wanita yang memiliki jilbab, agar meminjami saudaranya yang tidak memiliki jilbab. Semua ini menunjukkan, bahwa shalat ‘Id wajib bagi setiap orang (fardhu ‘ain, Red), bukan fardlu kifayah”. [As Sailur Jarar, 1/315].

Aku (Syaikh Masyhur Hasan Salman) mengatakan: “(Dalam penjelasan di atas, Red), Imam Asy Syaukani mengisyaratkan kepada hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha yang mengatakan:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

"Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan para wanita pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para budak, wanita yang sedang haid serta wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid keluar dari shalat. (dalam riwayat yang lain dari lapangan) dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku (Ummu Athiyah) mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada saudaranya yang tidak memiliki jilbab.”[1]

Perintah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam agar keluar, berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak memiliki udzur. Ini berdasarkan maksud dari pembicaraan. Karena keluar ke mushalla (lapangan) merupakan washilah (sarana) untuk shalat. (Jika) wasilahnya wajib, maka akan menyebabkan tujuan dari washilah itu juga menjadi wajib. Dan kaum pria lebih wajib daripada wanita. (Lihat Al Mau’izhah Al Hasanah, 43).

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum’at apabila bertepatan pada hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at.

اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

"Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (tidak shalat Jum’at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum’at. Dan kita mengumpulkan shalat hari raya dan Jum’at, dan kami akan tetap shalat Jum’at."[2]

Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak shalat ‘Id disyari’atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ‘Id secara berjama’ah hingga sampai wafatnya. Perbuatan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ‘Id digabungkan dengan perintahnya kepada manusia untuk keluar shalat ‘Id. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar (3/282-283) dan Tamamul Minnah, 344. Dan wajibnya shalat ‘Id, merupakan pilihan dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: “Kami menganggap rajih (menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat ‘Id itu hukumnya wajib bagi setiap orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu juga salah satu pendapat Imam Asy Syafi’i, dan salah satu diantara dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun ucapan yang mengatakan, “Shalat ‘Id tidak wajib”, merupakan ucapan yang sangat jauh dari kebenaran. Sesungguhnya shalat ‘Id merupakan syi’ar Islam yang sangat besar, dan manusia yang berkumpul untuk melakukan shalat ‘Id lebih besar daripada shalat Jum’at. Pada hari ini, disyari’atkan takbir. Dan pendapat orang yang mengatakan “Shalat ‘Id fardhu kifayah”, perkataan ini tidak memiliki dasar yang kuat. (Majmu’ Fatawa, 23/161).

Disini, sejenak kita merenungi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ummu Athiyah terdahulu. Di dalamnya terdapat perintah bagi para wanita yang sedang haid dan para wanita budak untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dari hadits ini dapat diambil dua hukum fiqih:

1). Disyari’atkan kepada para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Id.
Kami menganjurkan kepada para wanita untuk menghadiri jama’ah kaum muslimin, sebagai realisasi perintah Rasulullah n . Tidak lupa kami ingatkan mereka, dan juga para penanggungjawab mereka mengenai kewajiban mengenakan hijab syar’i. Terkadang sebagian orang merasa heran terhadap syari’at keluarnya wanita ke lapangan untuk shalat ‘Id.

Ketahuilah, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Karena, banyak hadits menerangkan hal ini. Disini, kami cukupkan dengan hadits Ummu Athiyah di atas. Hadits ini bukan hanya sebagai dalil disyari’atkannya shalat saja. Bahkan lebih dari itu, yaitu menandakan wajibnya shalat atas para wanita, karena perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hukum asal dalam perintah adalah wajib. Ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu.

حَقٌّ عَلَى كُلِّ ذِيْ نِطَاقٍ الْخُرُوْجُ إِلَى الْعِدَيْنِ

"Benar, bagi setiap orang yang memiliki sayak (rok), keluar untuk shalat ‘Id"[3]

2). Shalat dua hari raya tempatnya di lapangan, bukan masjid -meskipun boleh di masjid.
Dari sisi lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan kepada para wanita haidh agar menghadiri shalat ‘Id, sementara masjid tidak layak diisi para wanita haid. Apabila masjid tidak boleh mereka kunjungi ketika haid, maka hanya lapangan yang boleh mereka hadiri. Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, seperti dari Abu Said Al Khudri Radhiyalahu 'anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ

"Dahulu, Rasulullah n keluar ke mushalla (lapangan) pada hari raya ‘Idul Fithri dan Adh-ha. Dan hal pertama kali yang Beliau n kerjakan adalah shalat (ied)".[4]

Ibnu Al Hajj Al Maliki mengatakan: “Sunnah yang telah berjalan dalam masalah dua shalat ied ini, ialah dikerjakan di lapangan. Karena, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

"Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dari pada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram" [5]

Meskipun shalat di Masjid Nabawi sangat besar keutamaannya, namun Beliau n (tetap) keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjidnya. (Al Madkhal, 2/283). Perbuatan berdasarkan sunnah ini berjalan terus pada masa-masa awal, terkecuali terpaksa, seperti turun hujan dan yang semisalnya. Demikian pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan Ahmad) serta yang lainnya.

Juga, sunnah ini (shalat di lapangan) memiliki hikmah yang besar. Yakni kaum muslimin memiliki dua hari (istimewa) dalam setahun. Pada hari ini, penduduk semua negeri (suatu daerah) berkumpul, baik pria, wanita maupun anak-anak. Mereka menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati. Mereka terhimpun dengan satu kalimat, shalat di belakang satu imam, bertakbir, bertahlil dan berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh ikhlas. Seakan mereka sehati. Mereka bersuka ria, bergembira dengan nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Sehingga hari raya merupakan hari bahagia.

Semoga kaum muslimin memberikan tanggapan positif untuk meniti sunnah nabi mereka, menghidupkan syi’ar agama yang menjadi syarat kemuliaan (kewibawaan) dan keberuntungan mereka.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu" [QS Al Anfal:24]

B. TIDAK MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENUJU LAPANGAN
Dari Az Zuhri rahimahullah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya dan bertakbir hingga sampai ke lapangan, dan hingga selesai shalat. Apabila telah selesai, Beliau n menghentikan takbir.[6]

Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu takbir dengan keras ketika berjalan menuju lapangan. Kebanyakan umat mulai meremehkam sunnah ini, hingga sekarang ini seakan sudah menjadi cerita masa lampau (dan hampir tidak bisa ditemukan lagi-red). Ini disebabkan karena lemahnya agama mereka, serta malu untuk mengaku dan menampakkan sunnah ini.

Ironisnya, diantara mereka ada yang bertugas memberi bimbingan serta mengajarkan kepada manusia. (Namun) seakan bimbingannya dalam pandangan mereka terbatas pada transfer ilmu guru kepada manusia. Adapun sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk diketahui, ini tidak mendapatkan perhatian mereka. Bahkan mereka menganggap pembahasan serta pemberian peringatan dalam masalah ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan sebagai perbuatan sia-sia, yang tidak pantas untuk diperhatikan dalam tindakan dan pengajaran. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Yang perlu mendapatkan perhatian disini, yaitu dalam mengumandangkan takbir tidak disyari’atkan secara bersama dengan satu suara, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian halnya dengan dzikir yang disyari’atkan dengan suara keras ataupun yang tidak disyari’atkan dengan suara keras. Ini semua tidak disyari’atkan secara berjama’ah. Dan yang semisalnya dengan ini, ialah adzan berjama’ah sebagaimana dikenal di Damaskus dengan nama Adzan Al Juuq. Sering kali, dzikir berjama’ah (dengan satu suara) menjadi sebab pemutusan satu kata ataupun kalimat, yang semestinya tidak boleh waqaf (berhenti) pada kata atau kalimat tersebut, seperti “lailaha” dalam tahlil selepas shalat Subuh dan Maghrib, sebagaimana hal itu berulang kali kita dengar.

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan selalu ingat sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

"Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

C. MENGANGKAT TANGAN DALAM SETIAP TAKBIR SHALAT ‘ID
Tidak ada riwayat sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat ‘Id. Akan tetapi Ibnul Qayyim mengatakan: “Dan Ibnu Umar –padahal ia sangat antusias mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan setiap takbir”. (Zaadul Ma’ad, 1/441). Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , meskipun hadits ini diriwayatkan Ibnu Umar dan bapaknya Radhiyallahu 'anhuma, namun tidak akan menjadikannya sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat tersebut tidak benar.

Syaikh Al Albani mengatakan: “Adapun riwayat dari Umar, ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang lemah. Sedangkan riwayat dari Ibnu Umar, aku belum mendapatkannya. Dan sesungguhnya Imam Malik mengatakan,’ aku belum mendengar satu haditspun tentang hal ini’.” [Tamamul Minnah, hlm. 349].

Demikian pendapat Imam Malik sebagaimana terdapat dalam Al Madunah (1/169). Dan pendapat ini dinukil oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ (5/26). Hanya saja Ibnu Mundzir menceritakan: “Imam Malik mengatakan,’Dalam hal ini, tidak ada sunnah yang pasti. Barangsiapa ingin, maka ia mengangkat tangannya setiap kali takbir. Dan yang paling aku sukai, yaitu yang pertama (tidak mengangkat tangan)’.”

D. SHALAT SUNNAH QABLIYAH SEBELUM SHALAT ‘ID DAN UCAPAN “AS SHALAT JAAMI’AH” SEBELUM BERDIRI UNTUK SHALAT
Pemandangan mayoritas di negeri muslim, orang-orang yang hadir shalat ‘Id di lapangan melakukan shalat dua raka’at sebelum duduk di tempatnya, untuk menunggu berdirinya imam untuk shalat. Shalat dua raka’at ini tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan ada riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا

"Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka’at pada hari raya. Beliau tidak shalat dua raka’at sebelum maupun sesudahnya" [HR. Bukhari dan Muslim]

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Kesimpulannya, tidak ada shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id, berbeda dengan orang yang mengkiaskannya (menyamakan shalat ‘Id) dengan shalat Jum’at”. [Fath-hul Bari, 2/476].

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id”. (Masail Al Imam Ahmad, no. 469). Dan ia berkata pula: “Tidak ada shalat sunnat sebelum dan sesudah ‘Id. Nabi keluar shalat ‘Id tidak melakukan shalat sebelum maupun sesudahnya. Sebagian penduduk Bashrah melakukan shalat sebelumnya, dan sebagian penduduk Kuffah mengerjakan shalat sunnat setelahnya”. [Masail Al Imam Ahmad, no. 479]

Ibnul Qayyim mengatakan: “Beliau n dan para sahabatnya g tidak melakukan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id ketika telah sampai di lapangan”. (Zaadul Ma’ad, 1/443). Apabila Nabi n telah sampai di lapangan, Beliau melakukan shalat ‘Id tanpa adzan dan iqamat, dan tanpa ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan merupakan sunnah, tidak mengerjakan dari hal itu sedikitpun. (Zaadul Ma’ad, 1/442 dan At Tamhid, 1/243).

E. MENGHIDUPKAN MALAM HARI RAYA
Banyak khatib dan penceramah giat menganjurkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menghidupkan malam hari raya. Padahal, anjuran mereka ini tidak ditemukan sandaran yang shahih.

Mereka tidak cukup hanya dengan menganjurkan manusia untuk menghidupkan malam ini. Bahkan mereka (berani) menisbatkan (menyandarkan) ucapan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan dalil-dalil:

مَنْ أَحْيَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

"Barangsiapa menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan Adh-ha, hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati manusia" [7].

Riwayat di atas merupakan hadits palsu, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi beramal dengannya dan menyerukan manusia untuk melakukannya.

F. PEMBUKAAN KHUTBAH DENGAN TAKBIR SERTA BANYAK MENGUCAPKAN TAKBIR DALAM KHUTBAH
Ibnul Qayyim mengatakan: “Rasulullah n selalu membuka khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak ada riwayat dalam satu hadits pun bahwa Beliau memulai khutbah dua id dengan takbir. Hanya saja, Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Sa’ad Al Qardhi, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperbanyak takbir di tengah-tengah khutbah, serta memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.

Namun riwayat ini tidak menunjukkan bila Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah dengan takbir.

Orang-orang telah berselisih dalam masalah pembukaan dua hari raya serta istisqa. Ada yang mengatakan “khutbah ‘id dan istisqa dimulai dengan takbir”, dan ada pula yang mengatakan “khutbah istisqa diawali dengan istighfar”, dan ada pula yang mengatakan “keduanya diawali dengan hamdalah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “(Mengawali khutbah dengan hamdalah), itulah yang benar”. [Zaadul Ma’ad, 1/447-448].

Syaikh Masyhur, mengatakan: “Hadits terdahulu lemah. Dalam sanadnya, terdapat seorang yang lemah. Yaitu Abdurrahman bin Sa’ad bin Ammar bin Sa’ad Al Muadzan. Yang terakhir majhul (tidak dikenal), yaitu Sa’ad bin Ammar. Sehingga tidak boleh berhujjah akan sunnatnya takbir di tengah-tengah khutbah dengan hadits tersebut”. [Tamamul Minnah, 351]

G. MENJADIKAN ‘ID DENGAN DUA KHUTBAH DAN DIPISAH DENGAN DUDUK
Semua riwayat yang ada berkaitan dengan masalah ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: “Tidak ada satupun riwayat yang sah dalam masalah pengulangan khutbah”. [Lihat Fiqh Sunnah, 1/223 dan Tamamul Minnah, 348]

Demikian beberapa persoalan berkaitang dengan penyimpangan yang lazim terjadi pada pelaksanaan hari raya ‘Id. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

*) Disadur dan diringkas dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’ Al Mushallin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, dengan beberapa tambahan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, no. 324, 971, 974, 980, 981, 1,652 serta Muslim dalam Shahih-nya, no. 980; Ahmad dalam Musnad (5/84,85); An Nasa’i dalam Al Mujtaba (3/180); Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.307 dan Tirmidzi dalam Al Jami’, no. 539.
[2]. Dikeluarkan oleh Al Faryabi dalam Ahkam Al ‘Idain, no. 150; Abu Dawud dalam Sunan, no. 1.073; Ibnu Majah dalam Sunan, no. 1.311 dan yang lainnya. Hadits ini shahih berdasarkan syawahidnya (penyertanya).
[3]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/184) dengan sanad yang shahih. Lihat Risalah Shalat ‘Idain Fil Mushalla Hiya Sunnah, hlm. 12-13.
[4]. Dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih, no. 956 dan Muslim dalam Shahih, no. 889 dan lainnya.
[5]. Dikeluarkan Imam Muslim
[6]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Musnaf (2/165) dan Al Faryabi dalam Ahkam ‘Idain, no. 59 dan sanad-sanadnya shahih. Meski mursal namun syahid (penyerta) menyambung, menurut Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra (3/279). Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no.171.
[7]. Pembahasan mengenai hadits ini bisa dilihat di silsilah al ahadits ad dhaifah no. 520

Share this post to other.

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar