Bolehkah Memendekkan Jenggot?
Ditulis oleh:
Musyafa Addariny, Lc
Perlu kami tegaskan lagi di sini, bahwa para ulama salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa memendekkan jenggot hingga kurang dari genggaman tangan adalah haram, sebagaimana telah kami singgung di awal tulisan ini.Yang menjadi khilaf adalah, bolehkah kita memendekkan jenggot sampai batas genggaman tangan?
Ada dua pendapat dalam masalah ini, sebagian ulama mengharamkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama membolehkannya.
Diantara dalil pendapat yang mengharamkan:
1. Ke-umum-an dalil-dalil yang mewajibkan memelihara jenggot. Dalil-dalil tersebut tidak menerangkan batasan bolehnya memangkas jenggot. Itu menunjukkan bahwa larangan memangkas jenggot itu umum, baik kurang dari genggaman tangan atau lebih darinya.
2. Redaksi perintah memanjangkan jenggot dalam hadits adalah: “ahfuu” “a’fuu” “Arkhuu” “waffiruu” dan “arjuu” atau “arji’uu“, dan kata-kata itu dalam bahasa arab berarti perintah membiarkan jenggot apa adanya, yakni tidak boleh memangkasnya sama sekali. (Lihat Syarah Shohih Muslim, karya Imam Nawawi, hadits no: 260).
3. Tidak ada dalil yang shohih dari sabda maupun perbuatan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, yang menunjukkan bahwa beliau pernah memangkas jenggotnya. Yang shohih dari beliau hanyalah perintah untuk memanjangkan jenggot saja sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Albani -rohimahulloh-. Padahal kita tahu, setiap perintah dari syari’at itu menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil yang merubahnya. Itu berarti wajib bagi kita membiarkan jenggot apa adanya, dan haram bagi kita memangkasnya.
Sedang diantara dalil pendapat yang membolehkan:
1. Adanya beberapa atsar yang shohih dari sebagian sahabat, yang menunjukkan bolehnya memendekkan jenggot hingga batas genggaman tangan, diantaranya:
Dahulu Ibnu Umar jika haji atau umroh, ia memegang jenggotnya, lalu memotong yang lebih genggamannya. (HR. Bukhori 5892)
Jabir bin Abdulloh mengatakan: “Dahulu kami membiarkan apa yang panjang dari jenggot kami, kecuali saat haji atau umroh”. (HR. Abu Dawud 4201, dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, syarah hadits no 5892)
Dari Abu Zur’ah bin Jarir: “Dahulu Abu Huroiroh memegang jenggotnya, lalu mengambil yang lebih dari genggamannya”. Syeikh Albani mengatakan: Sanadnya shohih sesuai syaratnya Imam Muslim (Silsilah Dloifah 13/441).
Ibrohim an-Nakho’i -seorang ulama salaf dari kalangan tabi’in- mengatakan: “Dahulu mereka mengambil sebagian dari pinggir-pinggir jenggot mereka dan membersihkannya”. (Syeikh Albani mengatakan: Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman dengan sanad yang shohih dari Ibrohim an-Nakho’i. lihat di Silsilah Dlo’ifah 13/440).
Dan sebagaimana dikatakan oleh para ulama, Ibrohim an-Nakho’i ini mendapati beberapa sahabat yang masih hidup di masanya. Artinya para sahabat yang beliau temui juga masuk dalam ucapan ini.
2. Perbuatan Ibnu Umar itu dilakukannya ketika sedang haji, dan tentunya banyak ulama salaf lain yang melihatnya atau mendengarnya, tapi tidak satupun dari mereka mengingkarinya. Itu menunjukkan bahwa tindakan itu bukanlah hal yang terlarang dalam Islam. Karena jika hal itu terlarang dan bertentangan dengan perintah memanjangkan jenggot, tentunya ada ulama salaf lain yang menasehati atau mengingkarinya, sebagaimana mereka saling menasehati atau mengingkari dalam masalah yang lebih ringan dari ini, selama hal itu dianggap melanggar perintah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-.
3. Ibnu Umar adalah sahabat yang terkenal dengan kesungguhannya dalam mengikuti setiap tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, bahkan sampai pada hal-hal yang mubah… Dan bila dalam hal yang mubah saja beliau berusaha meniru Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, beranikah beliau melanggar atau meninggalkan perintah memanjangkan jenggot ini… Apalagi diantara yang meriwayatkan perintah memanjangkan jenggot itu juga beliau sendiri… Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:
Aisyah r.a. mengatakan: Tidak kulihat seorang pun yang berpegang teguh dengan al-Amrul Awwal (sunnah Rosul) melebihi Ibnu Umar.Nafi’ mengatakan: Jika kamu melihat Ibnu Umar ketika mengikuti Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, niscaya kamu akan
mengatakan: “ini orang gila”.Ja’far al-Baqir mengatakan: Dahulu Ibnu Umar jika mendengar hadits dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, ia tidak menambah ataupun menguranginya, dan tidak seorang pun yang (ku lihat) seperti dia.
Imam Nawawi mengatakan: Ibnu Umar adalah orang yang sangat teguh dalam mengikuti jejak-jejak Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, keutamaannya banyak dan masyhur, sedikit orang yang seperti dia dalam mengikuti Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam segala hal, baik dalam hal mengikuti ucapan maupun perbuatan beliau. (Tahdzibul Asma’ wal Lughot 1/279)
Ibnu Kholikan mengatakan: Ibnu Umar adalah seorang yang banyak mengikuti jejak-jejak Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, ia ektra teliti, hati-hati, dan takut dalam fatwa dan setiap pendapat yang dipilihnya… dia adalah sahabat yang paling tahu tentang
manasik haji. (Wafayatul A’yan 2/234)
4. Jika mereka mengatakan: “Kita tidak mengambil pemahaman si perowi hadits (yang membolehkan memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan), tapi yang kita ambil
adalah riwayatnya (yang memerintahkan kita membiarkan jenggot apa adanya)”, maka kita katakan: Hal itu bisa dibenarkan, bila keduanya tidak bisa dikompromikan, tapi selama keduanya bisa dikompromikan tanpa dipaksakan, maka hal itu lebih didahulukan,
dari pada meninggalkan pemahaman si perowi sama sekali. Fal jam’u aula minat tarjih. (lihat penjelasan Syeikh Albani dalam masalah ini di silsilah dlo’ifah 13/442)
5. Jika mereka berdalil dengan arti bahasa dari “ahfuu” “a’fuu” “Arkhuu” “waffiruu” dan “arjuu” atau “arji’uu“, maka kita katakan: Bukankah Ibnu Umar dan para salaf juga memahami makna bahasa dari kata-kata itu?!… Lalu mengapa ada diantara mereka yang
memangkas jenggotnya hingga batas genggaman tangan, sedang para salaf yang lain tidak mengingkarinya?!… Bukankah pahamnya para salaf dalam memahami nash syariat, lebih didahulukan dari pada pemahaman generasi yang datang setelahnya?!
6. Adanya tafsiran dari Sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang shohih, yang menunjukkan bolehnya memendekkan jenggot hingga batas genggaman tangan.
Dari Ibnu Abbas, ia mengatakan dalam firmannya Alloh ta’ala (yang artinya): “kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka”, maksud dari kata kotoran adalah: menggundul kepala, menyukur kumis, menyabuti bulu ketiak, menggundul rambut kemaluan, memotong kuku, mengambil sebagian dari sisi jenggotnya, melempar jamarot, dan berwukuf di arofah, dan mabit di Muzdalifah. (Syeikh Albani mengatakan, atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, dan sanadnya shohih. Lihat di silsilah dlo’ifah 13/441)
Tafsiran pakar tafsir dari generasi Sahabat ini, juga disebutkan oleh pakar tafsir dari generasi Tabi’in, diantaranya Mujahid dan Muhammad bin Ka’b al-Qurozhi: Dari Mujahid, dalam firman-Nya (yang artinya): “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka”, ia mengatakan: (maksudnya adalah) menggundul kepala, menggundul rambut kemaluan, memotong kuku, menyukur kumis, melempar jamarot, dan memendekkan jenggot“. (Syeikh Albani mengatakan: Sanadnya shohih. Lihat di silsilah dlo’ifah 13/441)
Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi dahulu menafsiri ayat ini (yang artinya): “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran mereka” ia mengatakan: (maksudnya adalah) melempar jamarot, menyembelih sembelihan, mengambil sebagian dari kumis, jenggot, dan kuku, thowaf di ka’bah, dan sa’i di shofa dan marwa. (Syeikh Albani mengatakan: Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang jayyid)
7. Dalil pendapat pertama adalah dalil umum, sedang dalil pendapat kedua adalah dalil khusus, dan dalam Kaidah Ushul Fikih dikatakan: bahwa dalil umum harus dimaknai sesuai dengan petunjuk dalil khusus. Sehingga maksud dari perintah umum memanjangkan jenggot itu adalah kewajiban memanjangkan jenggot hingga batas genggaman tangan. Sedang apa yang lebih dari genggaman, maka itu boleh dipotong sebagaimana ditunjukkan oleh dalil khusus dari para ulama’ salaf, wallohu a’lam.
Dengan pemahaman ini, kita akan bisa mengompromikan nash-nash perintah memanjangkan jenggot, dengan pemendekan jenggot hingga batas genggaman yang dilakukan oleh para salaf kita, sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya.
8. Inti dari dalil pendapat pertama adalah: menuntut kita untuk mendatangkan dalil bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan, dan Alhamdulillah kita telah mendatangkan dalil-dalil tersebut.
Meski tidak ada dalil dari sabda dan perbuatan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tapi bukankah tindakan dan kesepakatan para sahabat beliau, cukup untuk menunjukkan bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan?!
Bukankah imam empat sepakat, bahwa pendapat para sahabat pada masalah yang tidak ada khilaf diantara mereka, itu bisa dijadikan hujjah (dalil), selama tidak ada dalil dari Kitab maupun Sunnah?!
Dan bukankah pendapatnya para sahabat beliau lebih kuat, dari pada pendapatnya generasi setelah mereka yang menyelisinya?!
9. Jika ada yang mengatakan: Perbuatan Ibnu Umar hanya dilakukan ketika haji, mengapa kita jadikan dalil untuk membolehkannya secara mutlak, tanpa batasan waktu haji?! Maka kita katakan: “Jika waktu haji saja boleh, maka waktu yang lainnya lebih dibolehkan”, sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Ibnu Abdil Barr mengatakan:
Perbuatan Ibnu Umar r.a. yang memotong ujung jenggotnya ketika haji, merupakan dalil bolehnya memotong sebagian jenggot di luar haji, karena jika di luar haji hal itu tidak boleh, tentunya hal itu tidak dibolehkan juga ketika haji. (Alistidzkar 13/116)
Bisa juga dikatakan: Jika perbuatan Ibnu Umar ini, hanya bisa dijadikan dalil untuk membolehkan memangkas jenggot hingga batas genggaman ketika haji saja, maka atsar dari Abu Huroiroh dan an-Nakho’i, bisa kita gunakan untuk dalil bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan di waktu lainnya, wallohu a’lam.
10. Terakhir, kami akan sebutkan di sini dalil yang menurut pandangan penulis lemah, tapi tidak mengapa bila diikutkan dengan dalil-dalil yang telah lalu.
a. Sebagian orang, ada yang jenggotnya terlalu subur, hingga pertumbuhnya cepat dan panjangnya di luar batas kewajaran, hingga sangat memberatkan dirinya dalam menjalankan kewajiban ini, dan ini tidak selaras dengan dasar-dasar ajaran Islam yang mudah dan tidak memberatkan. Dalam biografinya Dhiya’ bin Sa’d bin Muhammad bin Utsman al-Qozwini al-Afifi (wafat 780 H) dikatakan:Dahulu jenggotnya panjang, hingga sampai di kedua kakinya, ia tidak tidur melainkan jenggotnya dimasukkan ke tempat pembungkus, dan jika naik (tunggangan) jenggotnya dibelah menjadi dua. (Durrotul Hijal fi Asma’ir Rijal 3/73) (Bughyatul Wu’ah lis Suyuthi 2/14).
b. Diantara hikmah disyariatkannya memanjangkan jenggot -sebagaimana disebutkan oleh para ulama- adalah karena ia merupakan penghias bagi laki-laki, dan bila jenggot dibiarkan apa adanya, hingga panjangnya menjadi tidak wajar, maka ia tidak lagi menjadi penghias, tapi sebaliknya akan menjadikan pemandangan kurang pantas. Dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan hikmah yang ada.
c. Diantara alasan memanjangkan jenggot adalah, menyelisihi kaum ahli kitab, musyrikin, dan majusi, yang menipiskan atau bahkan menggundul jenggotnya. Dan hal itu sudah terlaksana bila kita memanjangkan jenggot ini hingga batas genggaman tangan,
wallohu a’lam.Melihat dalil-dalil yang ada, penulis -yang sedikit ilmu ini- lebih condong ke pendapat kedua, yakni bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan, sebagaimana dilakukan oleh para salafush sholih, wallohu a’lam.
Akhirnya, kami akan tutup pembahasan ini, dengan menukil perkataan para imam empat yang memilih pendapat kedua ini. Kami sebutkan pendapat para imam ini, agar kita tahu bahwa khilaf yang ada dalam masalah ini, datangnya itu belakangan, yakni dari para pengikut madzhab, bukan dari para imam tersebut…
Sungguh para Imam Empat telah sepakat tentang haramnya menggundul jenggot… Mereka juga telah sepakat tentang bolehnya memangkas jenggot hingga batas genggaman tangan. Berikut kami nukilkan perkataan mereka:
1. Imam Abu Hanifah
Muhammad ibnul Hasan (murid Imam Abu Hanifah) mengatakan: Imam Abu Hanifah mengabarkan kepada kami, dari al-Haitsam, dari Ibnu Umar r.a.: Sesungguhnya dia (Ibnu Umar) dulu memegang jenggotnya, lalu memangkas yang di bawah genggamannya. Muhammad (ibnul Hasan) mengatakan: Dengannya kami berpendapat, dan inilah pendapatnya (Imam) Abu Hanifah. (al-Atsar 900, al-Inayah Syarhul Hidayah 3/308)
2. Imam Malik
Imam Malik pernah ditanya: “Bagaimana jika jenggot itu panjang sekali, karena ada jenggot yang bisa panjang (sekali)?!” Imam Malik menjawab: “Aku berpendapat bolehnya diambil dan dipendekkan sebagiannya… dan Imam malik meriwayatkan dari Ubaidulloh bin Umar, dari Nafi’: bahwa sesungguhnya Ibnu Umar dahulu jika memendekkan jenggotnya saat haji atau umroh, ia memegang jenggotnya, dan memotong yang keluar dari genggamannya. (Alistidzkar 27/65)
Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) mengatakan: Telah (datang dengan sanad yang) shohih dari Ibnu Umar tentang (bolehnya) mengambil sebagian dari jenggot, dan dia juga yang meriwayatkan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bahwa beliau memerintah untuk menyukur tipis kumis dan memanjangkan jenggot, dan (tentunya) dia lebih tahu dengan apa yang diriwayatkannya. (Alistidzkar 27/66)
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengatakan: Aku lebih senang jika ia (orang yang bermanasik, yakni ketika tahallul) mengambil sebagian dari jenggot dan kumisnya, sehingga ia meletakkan sebagian dari rambutnya karena Alloh. Tapi jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa, karena yang menjadi amalan manasik adalah menyukur rambut yang di kepala, bukan yang di jenggot. (al-Umm 2/2032) Al-Muzani (Murid Senior Imam Syafi'i) mengatakan: Aku tidak melihat ada orang yang lebih tampan wajahnya dari Imam Syafi’i
-rohimahulloh-, dan terkadang ia mengenggam jenggotnya, lalu ia tidak menambah lebih dari genggamannya. (Siyaru A’lamin Nubala’ 10/11)
4. Imam Ahmad
Ishaq bin Hani’ mengatakan: Aku telah bertanya kepada (Imam) Ahmad, tentang orang yang mengambil sebagian dari sisi jenggotnya? Beliau menjawab: “Boleh baginya mengambil sebagian dari jenggotnya, apa yang melebihi genggamannya”. Aku bertanya lagi: Lalu bagaimana dengan hadits Nabi -shollallohu alaihi wasallam- yang berbunyi: “Potong tipislah kumis, dan biarkan jenggot apa adanya!”. Beliau menjawab: “Boleh baginya mengambil dari panjangnya dan dari bawah langit-langit mulutnya”. (Ishaq mengatakan:) Dan aku telah melihat (sendiri) Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) mengambil jenggotnya dari sisi panjangnya dan dari bawah langit-langit mulutnya. (Kitabut Tarojjul dari Kitabul Jami’ 113-114)
Para pembaca yang dirahmati Alloh…Terakhir, kami ingin mengingatkan lagi kepada para pembaca, khususnya yang sudah mengamalkan Sunnah Rosul ini dengan sabda-sabda berikut:
” Barangsiapa mempunyai rambut, maka hendaklah ia menghormatinya” (HR. Abu Dawud 4163, dan dishohihkan oleh Albani). Pengarang kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud mengatakan: maksudnya adalah “maka baguskanlah rambut itu, dan bersihkanlah dengan mencucinya, meminyakinya, dan menyisirnya, dan janganlah ia biarkan kumal, karena sesungguhnya kebersihan dan bagusnya penampilan itu disukai”
Aisyah mengatakan: Aku dulu biasa memarfumi Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dengan minyak terbaik yang ada, hingga aku lihat kilatan minyak itu di kepala dan jenggot beliau. (HR. Bukhori 5923)
Jabir bin Abdulloh mengatakan: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- mendatangi kami, maka ketika melihat orang yang rambutnya kusut tidak teratur, beliau mengatakan: “Apa orang ini tidak punya sesuatu yang bisa membuat rapi rambutnya”Intinya, Rawatlah rambut kita, baik rambut kepala maupun rambut jenggot , dengan membersihkannya, meminyakinya, menyisirnya, dan lain sebagainya. Karena itu termasuk adab-adab islami yang dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.
Sekian tulisan ini, dan mohon maaf jika terlalu panjang. Tidak lain, penulis hanya ingin memberikan manfaat kepada diri sendiri dan juga para pembaca… semoga kita bisa mengamalkan ilmu yang kita dapatkan… amin.
Posting Komentar