Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Waktu Acara Pernikahan
Pada momen atau keadaan tertentu, bernyanyi dan menggunakan alat musik tertentu memang diperkenankan. Namun demikian hal itu tidak lantas dijadikan dalil untuk membolehkan seluruh jenis alat musik pada seluruh jenis keadaan.
Setelah kita mengetahui nash-nash tentang haramnya musik secara umum, perlu diketahui pula beberapa keadaan yang dikecualikan. Di antaranya:
Bernyanyi Menabuh Rebana di Waktu Acara Pernikahan
Dalam hadits Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra` radhiyallahu 'anha, dia berkata:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, lalu beliau masuk tatkala acara pernikahanku. Beliau duduk di atas ranjangku seperti duduknya engkau dariku. Maka beberapa anak perempuan kecil mulai memukul rebana sambil menyebut kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku dalam Perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: ‘Di antara kami ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang terjadi esok hari.’ Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Tinggalkan ucapan ini, dan ucapkanlah apa yang tadi engkau katakan’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab An-Nikah, Bab Dharbu Ad-Duf fin Nikah wal Walimah, no. 4852)
Al-Hafizh rahimahullahu berkata ketika mengomentari hadits ini: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya mengumumkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah’.” (Fathul Bari, 9/203)
Hal ini dikuatkan pula dengan hadits ‘Amir bin Sa’d radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
“Aku masuk ke tempat Quradzah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshari dalam acara pernikahan. Ternyata ada beberapa anak wanita kecil sedang bernyanyi. Maka aku bertanya: ‘Kalian berdua adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ikut dalam Perang Badr. Hal ini (nyanyian) dilakukan di dekat kalian?’ Maka ia menjawab: ‘Jika engkau mau, dengarkanlah bersama kami. Dan jika engkau mau, pergilah. Sesungguhnya telah dibolehkan bagi kami bersenang- senang ketika pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3383. Dihasankan Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Hathib radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Pembeda antara (hubungan) yang haram dan yang halal adalah menabuh rebana dan suara dalam pernikahan.” (HR. Ahmad, 3/418, At-Tirmidzi no. 1088, An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Albani dalam Al-Irwa`, 7/1994)
Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Hari Raya
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
Abu Bakr masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan kecil dari wanita Anshar sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan oleh orang- orang Anshar pada masa Bu’ats (perang besar yang terjadi di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).” Aisyah berkata: “Keduanya bukanlah penyanyi.” Abu Bakr lalu berkata: “Apakah seruling setan di dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Hal itu terjadi pada hari raya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-‘Iedain, Bab Sunnatul ‘Iedain li Ahlil Islam no. 909)
Dalam riwayat Al-Bukhari pula, dari Aisyah radhiyallahu 'anha: “Abu Bakr radhiyallahu 'anhu masuk ke tempat Aisyah. Di dekatnya ada dua perempuan kecil –pada hari-hari Mina (hari tasyriq) – sambil memukul rebana, dalam keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup wajahnya dengan bajunya. Abu Bakr lalu membentak mereka berdua. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyingkap baju tersebut dari wajahnya lalu berkata: “Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakr, karena sesungguhnya ini adalah hari-hari raya.” Waktu itu adalah hari-hari Mina.” (HR. Al-Bukhari no. 944)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Hadits ini adalah hujjah kami. Sebab Abu Bakr menamakan hal itu sebagai seruling setan, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan Abu Bakr. Hanya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang Abu Bakr melakukan pengingkaran keras terhadapnya karena kebaikan beliau dalam bergaul, apalagi pada hari raya. Sementara Aisyah radhiyallahu 'anha masih anak kecil pada waktu itu. Tetapi tidak ada dinukilkan dari beliau (Aisyah) setelah beliau baligh dan mendapat ilmu kecuali celaan terhadap nyanyian. Anak saudaranya sendiri yang bernama Al- Qasim bin Muhammad mencela nyanyian dan melarang dari mendengarnya. Dia (Al-Qasim) mengambil ilmu darinya (Aisyah radhiyallahu 'anha).” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal. 292, At-Tahrim hal. 114)
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu juga berkata dalam risalah As-Sama’ War Raqsh (Nyanyian dan Tarian): “Dalam hadits ini ada penjelasan bahwa berkumpul untuk perkara ini bukanlah kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Abu Bakr radhiyallahu 'anhu menamakannya sebagai seruling setan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan anak-anak perempuan cilik melakukannya dengan menyebutkan sebab bahwa itu adalah hari raya. Dan anak-anak kecil diberi keringanan bermain pada hari-hari raya, sebagaimana terdapat dalam hadits: ‘Agar kaum musyrikin mengetahui bahwa di dalam agama kami terdapat kelonggaran’.” (At-Tahrim hal. 114-115)
Tidak diketahui ada riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang membolehkan umatnya bernyanyi dengan menggunakan rebana, kecuali dua keadaan tersebut: pesta pernikahan dan hari-hari raya.
Peringatan
Adapun hadits Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa ada seorang budak wanita hitam datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari salah satu peperangan. Budak tersebut berkata: “Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk aku memukul rebana di dekatmu, jika Allah Ta'ala mengembalikan engkau dalam keadaan selamat.” Beliau menjawab: “Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar maka jangan engkau melakukannya.” Diapun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr radhiyallahu 'anhu masuk dalam keadaan dia tetap memukulnya. Lalu masuklah Umar radhiyallahu 'anhu, maka dia segera menyembunyikan rebana tersebut di belakangnya sambil menutupi dirinya. Maka berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setan benar- benar takut darimu, wahai Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini masuk. Tatkala engkau yang masuk, diapun melakukan apa yang dia lakukan tadi.” (HR. Ahmad, 5/353, Ibnu Hibban, 10/4386, Al-Baihaqi, 10/77. Dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1609)
Hadits ini merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak diqiyaskan kepada orang lain. Al-Albani rahimahullahu berkata: “Yang nampak bagiku bahwa nadzar wanita tersebut merupakan luapan kegembiraan darinya dengan kedatangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan selamat dan sehat serta mendapat pertolongan. Beliaupun mengampuni, sebab dia telah bernadzar dengannya untuk menampakkan kegembiraannya. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan untuk manusia seluruhnya. Sehingga tidak boleh dijadikan sebagai dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Silsilah Ash-Shahihah, 4/142, At-Tahrim hal. 124)
Posting Komentar