Hukum Memotong Rambut Dan Khitan

HUKUM MEMOTONG RAMBUT DAN KHITAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman





Pertanyaan.
Jelaskan hukum memotong rambut kepala bagi laki-laki dan hukum berkhitan. Sebutkan pula perbedaan pendapat tentang hukum khitan (beserta dalil-dalil dan keterangannya)?

Jawaban
Hukum memotong rambut bagi kaum laki-laki adalah sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah, ia berkata.

“Artinya : Panjang rambut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah diantara daun telinga, sampai (di atas) bahu” [Ahmad VI/118, Abu Dawud No. 4187, Tirmidzi no. 1755, Ibnu Majah No.3655]

Dan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Adalah rambut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengombak (ikal), tidak keriting dan tidak pula lurus. (Panjangnya) antara daun telinga dan kedua bahunya” [Bukhari No. 5563, 5564,5565. Muslim No. 2338]

Imam Ahmad III/113, 165, Muslim No. 2338 meriwayatkan dengan lafal.

“Artinya : Adalah rambut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada (batas) tengah-tengah kedua telinganya”.

Adapun khitan, wajib hukumnya bagi laki-laki dan mulia (utama) bagi kaum wanita, yaitu tidak wajib, berdasarkan keterangan dari banyak ulama.

Abu Abdillah berkata, “Ibnu Abbas sangat tegas dalam masalah khitan. Diriwayatkan dari beliau, bahwa “Tidak sah haji dan shalatnya”. Maksud beliau jika orang itu tidak berkhitan”.

Dalil tentang wajibnya berkhitan adalah sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki yang baru saja masuk Islam.

“Artinya :
Bersihkan darimu rambut kekafiranmu dan berkhitanlah” [Abu Dawud No. 356]

Begitu pula hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ibrahim kekasih Allah berkhitan pada usia 80 tahun. Beliau berkhitan dengan kapak” [Bukhari No. 3178, 5940. Muslim No. 2370]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Kemudian Kami telah wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang lurus”[An-Nahl : 123]

Disamping itu karena khitan adalah salah satu dari syiar kaum muslimin. Kalaulah berkhitan itu tidak wajib tentu tidak boleh membuka aurat untuk khitan, karena membuka aurat itu hukumnya haram. Namun, ketika membuka aurat untuk berkhitan itu diperbolehkan, hal itu menunjukkan berkhitan itu wajib.

Berkhitan juga disyariatkan kepada wanita. Abu Abdillah berkata, Dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Apabila dua khitan (laki-laki dan perempuan) bertemu (senggama) maka wajib mandi” [Ahmad VI/239. Tirmidzi 109, dan Ibnu Majah 608]

Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa para wanita dahulu (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkhitan.

Begitupula hadits Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita tukang khitan pernah mengkhitan (seorang anak wanita), maka Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Sisakan sedikit bila engkau mengkhitan” [Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah V/420-421]

Al-Khallaf meriwayatkan dengan sanadnya dari Syaddad bin Aus, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan mulia (utama) bagi wanita” [1]

Hadits yang seperti hadits Syaddad itu diriwayatkan pula dari Jabir bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu secara mauquf.

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada wanita tukang khitan khusus wanita.

“Artinya : (Sisakanlah) syahwatnya dan jangan dihabiskan, karena hal itu lebih memuaskan suami dan wajah (bisa) lebih bercahaya”[Lihat Majma Az-Zawaid V/172]

Waktu yang wajib bagi laki-laki berkhitan adalah ketika sudah baligh, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, katanya.

“Artinya : Dan mereka (para sahabat) tidaklah mengkhitan seorang laki-laki melainkan setelah dia berusia baligh”[Bukhari No. 5941]

Namun kewajiban ini akan gugur bagi orang yang takut mengalami kebinasaan (bila dikhitan). Dan berkhitan di masa kecil sampai usia tamyiz (sebelum baligh) lebih baik, karena akan lebih cepat sembuh dan dia akan tumbuh dalam keadaan sesempurna mungkin. Wallahu ‘alam


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 06/I/rabi’ul Awwal 1424H -2003M]
_________
Foote Note
[1] Hadits dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Hallaj bin Artha’ah. Dia seorang mudallis dan riwayatnya akan hadits ini mudhtarib (goncang).

Share this post to other.

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar