Tatacara Berwudhu
oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Cara Wudhu :
Bismillahirrahmanirrahim.
• Apabila seorang muslim mau berwudhu, maka hendaknya ia berniat di dalam hatinya, kemudian membaca Basmalah, sebab Rasulullah bersabda: "Tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah". Dan apabila ia lupa, maka tidaklah mengapa.
• Kemudian disunnahkan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali sebelum memulai wudhu.
• Kemudian berkumur-kumur (memasukkan air ke mulut lalu memutarnya di dalam dan kemudian membuangnya).
• Lalu menghirup air dengan hidung (mengisap air dengan hidung) lalu mengeluarkannya.
• Disunnahkan ketika menghirup air di lakukan dengan kuat, kecuali jika dalam keadaan berpuasa maka ia tidak mengeraskannya, karena di-khawatirkan air masuk ke dalam tenggorokan. Rasulullah bersabda: "Keraskanlah di dalam menghirup air dengan hidung, kecuali jika kamu sedang berpuasa".
• Lalu mencuci muka. Batas muka adalah dari batas tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dagu dan mulai dari batas telinga kanan hingga telinga kiri.
• Dan jika rambut yang ada pada muka tipis, maka wajib dicuci hingga pada kulit dasarnya. Tetapi jika tebal maka wajib mencuci bagian atasnya saja, namun disunnahkan mencelah-celahi rambut yang tebal tersebut. Karena Rasulullah selalu mencelah-celahi jenggotnya di saat berwudhu.
• Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku, karena Allah berfirman : "dan kedua
tanganmu hingga siku".
• Kemudian mengusap kepala beserta kedua telinga satu kali, dimulai dari bagian depan kepala lalu diusapkan ke belakang kepala lalu mengembalikannya ke depan kepala. Setelah itu langsung mengusap kedua telinga dengan air yang tersisa pada tangannya.
• Lalu mencuci kedua kaki sampai kedua mata kaki, karena Allah berfirman: "dan kedua kakimu hingga dua mata kaki". Yang dimaksud mata kaki adalah benjolan yang ada di sebelah bawah betis. Kedua mata kaki tersebut wajib dicuci berbarengan dengan kaki.
• Orang yang tangan atau kakinya terpotong, maka ia mencuci bagian yang tersisa yang wajib dicuci. Dan apabila tangan atau kaki-nya itu terpotong semua maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.
Setelah selesai berwudhu mengucapkan :
"Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang bertobat dan jadikanlah aku sebagai bagian dari orang-orang yang bersuci".
• Ketika berwudhu wajib mencuci anggota-anggota wudhunya secara berurutan, tidak menunda pencucian salah satunya hingga yang sebelumnya kering.
• Boleh mengelap anggota-anggota wudhu seusai berwudhu.
Sunnah wudhu:
Disunnatkan bagi setiap muslim menggosok gigi (bersiwak) sebelum memulai wudhunya, karena Rasulullah bersabda : "Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap kali akan berwudhu".
Disunnatkan pula mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu, sebagaimana disebutkan di atas, kecuali jika setelah bangun tidur, maka hukumnya wajib mencucinya tiga kali sebelum berwudhu. Sebab, boleh jadi kedua tangannya telah menyentuh kotoran di waktu tidurnya sedangkan ia tidak merasakannya. Rasulullah bersabda:
"Apabila seorang di antara kamu bangun tidur, maka hendaknya tidak mencelupkan kedua tangannya di dalam bejana air sebelum mencucinya terlebih dahulu tiga kali, karena sesungguhnya ia tidak me-ngetahui di mana tangannya berada (ketika ia tidur).
Disunnatkan keras di dalam menghirup air dengan hidung, sebagaimana dijelaskan di atas. Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jenggot jika tebal ketika membasuh muka (sebagaiman dijelaskan di muka).
Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jari-jari tangan dan kaki di saat mencucinya, karena Rasulullah bersabda:
"Celah-celahilah jari-jemari kamu".
Mencuci anggota wudhu yang kanan terlebih dahulu sebelum mencuci anggota wudhu yang kiri. Mencuci tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, dan begitu pula mencuci kaki kanan sebelum mencuci kaki kiri.
Mencuci anggota-anggota wudhu dua atau tiga kali dan tidak boleh lebih dari itu. Namun kepala cukup diusap tidak lebih dari satu kali usapan saja. Tidak berlebih-lebihan dalam pemakaian air, karena Rasulullah berwudhu dengan mencuci tiga kali, lalu bersabda :
"Barangsiapa mencuci lebih (dari tiga kali) maka ia telah berbuat kesalahan dan kezhaliman".
Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu:
Wudhu seorang muslim batal karena hal-hal berikut ini :
• Keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur, baik berupa air kecil atau- pun air besar.
• Keluar angin dari dubur (kentut).
• Hilang akalnya, baik karena gila, pingsan, mabuk atau karena tidur yang nyenyak hingga tidak menya-dari apa yang keluar darinya. Adapun tidur ringan yang tidak menghilangkan perasaan, maka tidak membatalkan wudhu.
• Menyentuh kemaluan dengan tangan dengan syahwat, apakah yang disentuh tersebut kemaluan-nya sendiri atau milik orang lain, karena Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu".
• Memakan daging unta, karena ketika Rasulullah ditanya: "Apakah kami harus berwudhu karena makan daging unta? Nabi menjawab : Ya."
- Begitu pula memakan usus, hati, babat atau sumsumnya adalah membatalkan wudhu, karena hal tersebut sama dengan dagingnya.
- Adapun air susu unta tidak membatalkan wudhu, karena Rasulullah SAW pernah menyuruh suatu kaum minum air susu unta dan tidak menyuruh mereka berwudlu sesudahnya. - Untuk lebih berhati-hati, maka sebaiknya berwudhu sesudah minum atau makan kuah daging unta.
Hal-hal yang haram dilakukan oleh yang tidak berwudhu:
Apabila seorang muslim berhadats kecil (tidak berwudhu), maka haram melakukan hal-hal berikut ini:
• Menyentuh mushaf Al-Qur'an, karena Rasulullah mengatakan di dalam suratnya yang beliau kirimkan kepada penduduk negeri Yaman.
"Tidak boleh menyentuh Al-Qur'an selain orang yang suci".
Adapun membaca Al-Qur'an dengan tidak menyentuhnya, maka hal itu boleh dilakukan oleh orang yang berhadats kecil.
• Mengerjakan shalat. Orang yang berhadats tidak boleh melakukan shalat kecuali setelah berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah bersabda: "Allah tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa wudhu".
- Boleh bagi orang yang tidak berwudhu melakukan sujud tilawah atau sujud syukur, karena keduanya bukan merupakan shalat, sekalipun lebih afdhalnya adalah berwudhu sebelum melakukan sujud.
• Melakukan thawaf. Orang yang berhadats kecil tidak boleh melakukan thawaf di Ka`bah sebelum berwudhu, karena Rasulullah telah bersabda : "Thawaf di Baitullah itu adalah shalat". Dan juga karena Nabi berwudhu terlebih dahulu sebelaum melakukan thawaf.
Catatan Penting:
Untuk berwudhu tidak disyaratkan mencuci qubul atau dubur terlebih dahulu, karena pencucian keduanya dilakukan sehabis buaang air, dan hal tersebut tidak ada hubungannya dengan wudhu.
Wallahu a`lam, wa shallallahu `ala nabiyyina Muhammad wa `ala alihi washahbihi wa sallam.
HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN (ISBAL ) BAGI PRIA
Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" [Hadits Riwayat Bukhari]
Dan beliau juga berkata lagi:
"Alloh tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".
Dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :
"Alloh tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." [Hadits Riwayat Malik, Bukhari, dan Muslim]
Dan beliau Shallallohu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda :
"Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Alloh hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Nasa'i]
Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al Mannan yang tersebut pada hadits di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal
sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.
Dalam sebuah hadits yang berbunyi :
"Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan
bersikap angkuh dalam langkahnya, Alloh akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. [Mutafaqqun 'Alaihi]
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" Isbal berlaku pada sarung, gamis, serban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Alloh pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih]
Hadits ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih
tergolong pakaian. RasulAlloh Shallallohu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya :
"Sesungguhnya Alloh tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Shalihin dengan tahqiq Al Arnauth hal: 358]
Melalui hadits-hadits Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran-kotoran. Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Alloh. Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin… untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Alloh Ta’ala dan RasulNya. Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Alloh dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada Alloh Ta’ala. Dan hendaknya engkau menyesali atas apa yang telah engkau lakukan, berupa sikap tidak taat kepada Alloh. Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Alloh menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang. Ya Alloh, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang. Ya Alloh, berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.
HUKUM ADZANNYA WANITA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apa hukumnya adzannya wanita ?
Jawaban
Adzan sama sekali bukan hak wanita, tidak boleh bagi wanita untuk mengumandangkan adzan, karena adzan termasuk perkara-perkara yang zhahir dan ditampakkan, yang mana perkara-perkara macam ini adalah urusan pria, sebagaimana wanita tidak diberi tugas untuk melakukan jihad dan hal-hal serupa lainnya.
Adapun bagi umat nashrani, mereka beranggapan bahwa wanita memiliki derajat yang tinggi, bahkan mereka menyematkan pada kaum wanita hal-hal yang bertolak belakang dengan fitrah yang sesungguhnya, juga memberlakukan persamaan antara dua jenis manusia yang sesungguhnya berbeda.
[Fatawa wa Rasaiil Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/113]
ADZANNYA WANITA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : Bolehkah wanita mengumandangkan adzan, apakah suara wanita dianggap aurat atau tidak ?
Jawaban
Pertama : Pendapat yang benar dari para ulama menyatakan, bahwa wanita tidak boleh mengumandangkan adzan, karena hal semacam ini belum pernah terjadi pada jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga tidak pernah terjadi di zaman Khulafa'ur Rasyidin Radhiyallahu 'anhum.
Kedua : Dengan tegas kami katakan bahwa suara wanita bukanlah aurat, karena sesungguhnya para wanita di zaman Nabi selalu bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang urusan-urusan agama Islam, dan mereka juga selalu melakukan hal yang sama pada zaman Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin setelah mereka. Di zaman itu juga mereka biasa mengucapkan salam kepada kaum laki-laki asing (non mahram) serta membalas salam, semua hal ini telah diakui serta tidak ada seorangpun di antara para imam yang mengingkari hal ini, akan tetapi walaupun demikian tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengangkat suaranya tinggi-tinggi dalam berbicara, juga tidak boleh bagi mereka untuk berbicara dengan suara lemah gemulai, berdasarkanm firman Allah.
"Artinya : Hai itri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [Al-Ahzab : 32]
Karena jika seorang wanita berbicara lemah gemulai maka hal itu dapat memperdaya kaum pria hingga menimbulkan fitnah di antara mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil ifta', VI/82, Fatwa No. 9522]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 117-118, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BOLEHKAH WANITA SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN CELANA PANJANG
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita unuk melaksanakan shalat dengan tidak menggunakan celana panjang, karena saya banyak melihat kaum wanita yang melakukan shalat dengan menggunakan celana panjang dan di antara mereka adalah istri saya sendiri ?
Jawaban
Wanita yang melakukan shalat harus menggunakan pakaian yang dapat menutupi seluruh auratnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (wanita baligh) kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala).."
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan baju kurung serta khimar dan tanpa menggunakan kain sarung ?" maka beliau bersabda : "Boleh jika baju itu panjang yang dapat menutupi seluruh kedua kakinya", hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud serta dishahihkan oleh para imam.
Seluruh tubuh wanita adalah aurat dalam melaksanakan shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, akan tetapi jika terdapat pria asing yang bukan mahramnya maka wanita itu harus menutup wajah dan kedua telapak tangannya itu, dan tidak ada dosa bagi wanita untuk melaksanakan shalat dengan menggunakan celana panjangnya jika selama itu suci".
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VI/175-176, fatwa nomor 4945]
HUKUM MENANGGALKAN CELANA PANJANG UNTUK SHALAT
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Adakah hukum syar'i yang menunjukkan bahwa wanita harus melepaskan celana panjangnya untuk shalat bila ia menggunakan pakaian yang menutupi aurat sementara celana panjang yang dikenakannya itu suci ? Jika melepaskan celana panjang disyari'atkan, apa hikmah yang terkandung di balik ketetapan itu ?
Jawaban
Tidak ada dalil syar'i yang memerintahkan seorang wanita untuk melepaskan celana panjangnya ketika akan mengerjakan shalat jika celana panjang itu suci.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VI/175-176, fatwa nomor 12295]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal.118-119 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin
MENDAPATKAN KESUCIAN SEBELUM HABISNYA WAKTU SHALAT, WAJIBKAH MELAKUKAN SHALAT ITU
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Apakah hukumnya jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat, apakh wajib baginya untuk mengqadha shalat itu pada saat suci, begitu juga jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, wajibkah ia melaksanakan shalat itu ?
Jawaban
Pertama : Jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat dan ia belum melaksanakan shalat itu sebelum datangnya haid maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa yang dapat melakukan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah mendapatkan shalat itu".
Dan jika seorang wanita telah memasuki waktu shalat sekedar satu rakaat, kemudian ia mendapatkan haidh sebelum melakukan shalat itu maka diharuskan baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci.
Kedua : Jika ia mendapatkan kesuciannya dari haidh beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu, walaupun ia mendapatkan kesuciannya bebeara saat sebelum terbitnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Begitu pula jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum terbenamnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk shalat Ashar. Jika ia mendapatkan kesuciannnya sebelum pertengahan malam sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya. Jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sesudah pertengahan malam maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh jika telah datang waktu shalat Shubuh, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An-Nisa' : 103-104]
Yakni, shalat yang wajib itu ditentukan oleh waktu yang terbatas, yang mana tidak boleh baginya untuk melakasanakan shalat jika telah habis waktunya, juga tidak boleh melaksanakan shalat sebelum tiba waktunya.
[52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 23]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tengtang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 133-134, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
WAJIBKAH KAUM WANITA MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMA'AH DI RUMAH
Oleh
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apakah diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan shalat fardhu berjama'ah .?
Jawaban
Tidak ada kewajiban bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah, shalat jama'ah hanya diwajibkan bagi kaum pria saja. sedangkan kaum wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk melaksanakan shalat jama'ah, tapi dibolehkan atau bahkan disukai bila mereka mengerjakannya dengan berjama'ah, yaitu dengan menetapkan salah seorang mereka sebagai imam, dan sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tempat berdirinya imam itu adalah di tengah-tengah shaf pertama.
[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Al-Fauzan III/80]
APA HUKUM SHALAT BERJAMA'AH BAGI WANITA
Oleh
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita ?
Jawaban
Tentang shalat berjama'ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang mereka, para ulama berbeda pendapat, ada yang melarang ada pula yang membolehkan. Pendapat yang paling banyak adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami anggota keluarganya, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita adalah mustahab (disukai) berdasarkan hadits ini, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hukum sholat berjama'ah bagi kaum wanita adalah mustahab (disukai) berdasarkan hadits ini, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hukum sholat berjama'ah bagi kaum wanita seperti itu adalah makruh sebagian lainnya mengatakan bahwa itu dibolehkan dalam sholat sunnah tapi tidak boleh dalam sholat fardhu. Mungkin pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum sholat berjama;ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang diantara mereka adalah mustahab (disukai). Wanita yang menjadi imam dalam sholat berjama'ah ini harus mengeraskan suaranya saat membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak terdengar oleh kaum pria yang bukan mahramnya .
[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan , halaman 28]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa tentang Wanita Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 138-139 Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
HUKUM SHALAT WANITA DI MASJID
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Apakah zaman sekarang wanita dibolehkan melakukan shalat di masjid ?
Jawaban
Ya, dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat di masjid di zaman ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk datang ke masjid-masjid Allah"
Dalam hadits lain :
"Artinya : Sebaik-baik shaf shalat kaum pria adalah shaf pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf shalat kaum wanita adalah shaf yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama"
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/330-332, fatwa nomor 3321]
HARUSKAH WANITA MELAKSANAKAN SHALAT LIMA WAKTU DALAM MASJID
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita muda yang menutup auratnya serta konsisten dengan pakaian Islam yang disyari'atkan yaitu menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, jika ia berkeinginan melaksanakan shalat lima waktu di masjid, apakah hal itu diperbolehkan baginya ? Dan apakah setiap pergi ke masjid ia harus disertai oleh suaminya .?
Jawaban
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat di masjid jika ia menutup auratnya secara syar'i, yaitu menutup wajahnya serta kedua telapak tangannya serta menghindarkan dirinya dari penggunaan perhiasan dan wewangian, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah kamu melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah"
Akan tetapi perlu diingat bahwa shalat di rumah adakah lebih baik baginya berdasarkan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam pada akhir hadits yang telah disebutkan di atas :
"Artinya : Namun rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka"
[Kitab Ad-Da'wah min Fatawa Syaikh Ibnu Baaz, 1/63]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 142-1443 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
APAKAH SHALATNYA SEORANG WANITA DI RUMAH LEBIH UTAMA ATAUKAH DI MASJDIL HARAM
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di Masjidil haram ?
Jawaban
Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu"
Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunnah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda :
"Artinya : Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lain kecuali Masjidil Haram"
Berdasarkan sabda ini maka kami katakan : Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Abda sedang ada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipat gandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalat fardhu, karena shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjid-masjid itu, adapun shalat sunnah maka pahalanya tidak dilipat gandakan. Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahala adalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunnat, hanya saja shalat sunnat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah, bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama. Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam Masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram. maka itu lebih baik seratus ribu kali kebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid-masjid lainnya, dan shalat Tahiyatul Masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya. Begitu juga jika Anda datang dan masuk ke dalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah itu lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupa dari pada di masjid-masjid lainnya.
Masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan ramadhan), apakah bagi wanita lebih utama melaksanakannya di Masjidil Haram atau di rumah .?
Jawabannya adalah : Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakan di rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka Masjidil Haram seperti masjid-masjid lainnya. Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahli ilmi mengatakan : Bahwa yang lebih utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu, bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah ini saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsman itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya tidak menjelaskan bahwa beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjama'ah. Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di Masjidil Haram ? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika ada nash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain)"
Namun jika kehadirannya dapat menimbulkan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwa shalat di rumahnya adalah lebih utama.
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/228]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal.144-145, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
MANAKAH YANG LEBIH UTAMA BAGI WANITA PADA BULAN RAMADHAN, MELAKSANAKAN SHALAT DI MASJIDIL HARAM ATAU DI RUMAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Bagi kaum wanita khsususnya yang melakukan umrah di bulan Ramadhan, dalam pelaksanaan shalat, baik itu shalat fardhu ataupun shalat tarawih, manakah yang lebih utama bagi mereka, melaksanakan di rumah atau di Masjidil Haram ?
Jawaban
Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di mana saja ia berada, baik di rumahnya, di Mekkah ataupun di Madinah, karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah, walaupun sesungguhnya rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka".
Beliau mengucapkan sabda ini saat beliau berada di Madinah, sedangkan saat itu beliau telah menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi (Masjid di Madinah) terdapat tambahan kebaikan, mengapa beliau melontarkan sabda yang seperti ini ? Karena jika seorang wanita melakukan shalat di rumahnya maka hal ini adalah lebih bisa menutupi dirinya dari pandangan kaum pria asing kepadanya, dan dengan demikian ia lebih terhindar dari fitnah. Maka shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik dan lebih utama.
[Al-Fatawa Al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 26]
SHALATNYA KAUM WANITA YANG SEDANG UMRAH DI BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat pada malam-malam Ramadhan di rumahnya atau di masjid, dengan pertimbangan bahwa jika seorang wanita melakukan shalat di masjid maka ia akan medapatkan siraman-siraman rohani dari penceramah masjid. Dan apa saran Anda bagi kaum wanita yang melaksanakan shalat di masjid-masjid ?
Jawaban
Yang lebih utama dan lebih baik bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di rumahnya, berdasarkan keumuman makna yang terdapat sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : ... Namun ruamh-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka (kaum wanita)"
Karena keluarnya mereka dari rumah mereka lebih dapat menimbulkan fitnah daripada mereka tidak keluar rumah, maka keberadaan wanita di dalam rumah adalah lebih baik bagi mereka daripada mereka pergi keluar untuk shalat di masjid. Adapun siraman-siraman rohani masih mungkin mereka dapatkan melalui rekaman-rekaman kaset. Saran saya bagi kaum wanita melalui rekaman-rekaman kaset. Saran saya bagi kaum wanita yang melaksanakan shalat di masjid, adalah hendaknya mereka keluar dari rumah mereka dengan tidak berdandan dengan tidak berhias (bersolek) dan tidak pula memakai wangi-wangian.
[Al-Fatawa Al-Makiyah, Syaikh Ibnu Utsaman, halaman 26]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami' ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatawa-Fatawa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal. 146-147 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BENARKAH SHALAT JUM'AT SEBAGAI PENGGANTI SHALAT ZHUHUR
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat Jum'at, apakah ia tidak berkewajiban lagi untuk melaksanakan shalat Zhuhur .?
Jawaban
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam Jum'at, maka telah cukup shalat Jum'at itu untuk menggantikan pelaksanaan shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum'at.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4147]
HUKUM SHALAT JUM'AT BAGI WANITA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta diatanya : Apa hukumnya pelaksanaan shalat Jum'at bagi wanita, apakah shalat itu dilakukan sebelum atau sesudah kaum pria atau bersama-sama mereka .?
Jawaban
Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, tapi jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal 153-154, penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT-SHALAT YANG DITINGGALKAN SELAMA MASA HAIDH, DAN BOLEHKAH SEKEDAR MEMBASUH RAMBUT SAJA KETIKA HAID
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama masa haidh dan bolehkah baginya sekedar membasuh rambut ketika haidh .?
Jawaban
Wanita haidh tidak mengqadha shalatnya berdasarkan nash dan ijna', juga berdasarkan sabda Nabi Sjallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bukankah jika seorang wanita sedang haidh ia tidak shalat dan tidak puasa"
Aisyah Radhiyallahu 'anha diatanya : "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ..?, maka Aisyah menjawab : 'Kamipun mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat'Ungkapan 'Aisyah ini menunjukan bahwa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat, Adapun membasuh rambut pada masa haidh, maka hal itu dibolehkan. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh baginya membasuh rambut saat haidh, maka hal itu tudak benar, bahkan boleh baginya membasuh seluruh kepala dan tubuhnya serta lainnya sesukanya, juga boleh menggunakan inai saat haidh dan tidak ada dosa baginya .
[Fatawa Nur'ala Ad-Darb, Syaikh ibnu Utsaimin,hal 45]
[Disalin dai buku Al-Fatawa Al-Jaami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal. 153 penerjemah Amir Hazah Fakhruddin]
SHALAT SESEORANG BATAL DIKARENAKAN ADA WANITA YANG MELINTAS DI HADAPANNYA?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah shalat seseorang di Masjidil Haram bisa batal ketika ia ikut berjama’ah dengan imam atau shalat sendirian karena da wanita yang melintas di hadapannya?
Jawaban
Tentang wanita yang dapat membatalkan shalat seseorang, hal ini telah ditetapkan dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Abu Dzar, ia mengatakan : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Perempuan, keledai dan anjing hitam dapat memutuskan (membatalkan) shalat seorang muslim jika dihadapannya tidak ada pembatas (penghalang), seperti jok bagian belakang kendaraan”.
Dengan demikian jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatas shalatnya, jika pelaku shalat itu memiliki pembatas shalat, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, jika orang yang shalat itu tidak memiliki pembatas, maka shalat orang itu menjadi batal, dan wajib baginya untuk mengulangi shalat walaupun ia telah mencapai di rakaat terakhir. Hal ini pun berlaku jika shalat itu dilakukan di masjid-masjid lainnya menurut pendapat yang paling kuat, karena dalil yang menyebutkan hal ini bersifat umum dan tidak ada pengkhususan pada suatu tempat.
Berdasarkan ini Imam Al-Bukhari mengkategorikan hadits ini dalam “Bab Pembatas Shalat Di Mekkah Dan Tempat Lainnya”, dengan demikian hadits ini bersifat umum, sehingga jika seseorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, maka wajib bagi orang yang melakukan shalat itu untuk mengulangi shalat tersebut, kecuali jika yang sedang shalat ini adalah seorang makmum yang shalat di belakang imam, karena pembatas pada imam adalah juga merupakan pembatas bagi orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian dibolehkan bagi seseorang untuk berjalan dihadapan orag yang shalat di belakang imam dan tidak berdosa. Namun jika orang itu berjalan di hadapan orang yang sedang shalat sendirian (tidak berjama’ah mengikuti imam) maka itu hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Seandainya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang melaksanakan shalat itu tahu akan dosa perbuatan itu yang akan ditimpakan kepadanya, maka berdiri selama empat puluh lebih baik baginya daripada ia berjalan di hadapannya itu”.
“Al-Bazzar meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan empat puluh di sini adalah empat puluh tahun”
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/233]
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BERANGKATNYA WANITA MUSLIMAH KE MASJID
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Pria itu dilahirkan sebagai anak Kristiani kemudian ia masuk Islam dan diikuti oleh isterinya pula, suatu hari Jum’at ketika ia pergi ke masjid bersama isterinya, seseorang berkata ; “Sesungguhnya seorang wanita muslimah dilarang masuk ke dalam masjid”, maka pria itu mendatangi imam masjid dan bertanya : “Mengapa wanita muslimah tidak boleh masuk ke dalam masjid?” Imam masjid itu menjawab : “Karena tidak semua wanita muslimah dalam keadaan suci, bahkan seluruh wanita muslimah di Makkah Al-Mukaramah tidak masuk ke dalam masjid-masjid karena hal itu tidak diizinkan bagi mereka”. Pria itu membacakan kepada sang imam surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli”, Lalu pria itu bertanya : “Apakah hal ini benar?” dan ini termasuk, ia menyebutkan bahwa kaum wanita Kristiani melaksanakan ibadah di dalam gereja, tapi mengapa di haramkan bagi wanita muslimah untuk masuk ke dalam masjid? Ia mengharapkan jawaban tentang masalah ini agar dapat menerangkan kepada kaum muslimin.
Jawaban
Boleh bagi wanita muslimah untuk melaksanakan shalat di dalam masjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang isterinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama isterinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bawha beliau bersabda.
“Artinya : Jika para isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka”.
Dalam riwayat lain disebutkan
“Artinya : Janganlah kalian melarang mereka untuk berada di dalam masjid jika mereka minta izin kepada kalian”.
Maka berkata Bilal –salah seorang anak Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu- : “Demi Allah kami pasti akan melarang (mereka ke masjid)”, maka Abdullah berkata : “Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan itu tapi (mengapa malah) engkau berkata : “Kami pasti akan melarang mereka”.
Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.
Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yang diharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangian, maka tidak boleh baginya untuk keluar rumah dalam kondisi seperti ini, apalagi mendatangi masjid serta melaksanakan shalat di dalamnya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
“Artinya : Katakanlah kepada wanita beriman :”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memlihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah merekla menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan, kecuali kepada suami mereka…” [An-Nur : 31]
“Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 59]
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Zainab At-Tsaqafiah menceritakan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Jika seorang wanita di antara kalian mengikuti shalat Isya (di masjid) maka janganlah ia berdandan malam itu”.
Dalam riwayat lain disebutkan.
“Artinya : Jika seorang wanita di antara kalian datang ke masjid maka janganlah ia menyentuh (menggunakan) pewangi”
Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.
Dan dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bawa para isteri sahabat melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah, mereka menutupi tubuhnya dengan kain-kain hingga tidak seorangpun mengenali mereka. Dalam hadits lain pun telah disebutkan bahwa Amrah binti Abdurrahman berkata ; “Aku mendengar Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam melihat apa yang telah terjadi pada kaum wanita, tentulah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita bani Israil”. Ditanyakan kepada Amrah : “Kaum wanita bani Israil dilarang pergi ke masjid/” Amrah menjawab : “Ya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.
Nash-nash ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslimah jika ia konsisten dengan norma Islam dalam berpakaian dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah imannya dengan berbagai hiasan yang menggoda, maka tidak ada larangan baginya untuk shalat di masjid. Sebaliknya, jika wanita itu dalam keadaan yang dapat menggoda orang-orang yang cenderung kepada keburukan atau menimbulkan fitnah terhadap orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan, maka wanita itu akan dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan dilarang baginya untuk keluar dari rumahnya serta menghindari pertemuan-pertemuan umum.
Adapun mengenai kaum wanita di Makkah, mereka tidak ada yang diperkenankan untuk masuk ke dalam masjid-masjid, maka ini adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjid-masjid bahkan di bolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjidil Haram serta melakukan shalat jama’ah di dalamnya, hanya saja mereka diberikan tempat khusus agar tidak bercampur dengan kaum pria dalam melaksanakan shalat.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/330-332 no. 873]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]
KETIKA SEDANG MELAKSANAKAN SHALAT TERINGAT BAHWA PAKAIAN YANG DIKENAKANNYA TERKENA NAJIS
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita lupa sehingga ia shalat dengan menggunakan pakaian yang telah terkena najis, lalu di tengah shalat ia teringat bahwa pakaian yang dipakaianya itu telah terkena najis, apakah boleh bagi wnaita itu menghentikan shalatnya untuk mengganti pakaian itu? Dan bilakah saat-saat dibolehkannya menghentikan shalat?
Jawaban
Barangsiapa yang melaksanakan shalat dengan membawa najis dan ia mengetahui adanya najis itu maka shalatnya batal, akan tetapi jika ia tidak tahu adanya najis hingga selesai shalat maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulangi shalat itu. Jika keberadaan najis itu diketahui saat ia melakukan shalat serta memungkinkan baginya untuk menghilangkan najis itu dengan segerra,maka hendaknya ia lakukan itu kemudian melanjutkan shalatnya hingga selesai.
Telah disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika beliau melepaskan kedua sandalnya saat shalat setelah malaikat Jibril mengkhabarkan beliau bahwa pada kedua sandalnya itu terdapat najis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan bagian shalat yang telah dikerjakannya. Begitu juga bila mengetahui bahwa pada sorbannya terdapat najis, maka hendaklah segera menanggalkannya berdasarkan riwayat tadi.
Adapun jika menghilangkan najis itu membutuhkan suatu proses yang panjang, seperti harus melepaskan baju atau celana atau lainnya yang mana setelah melepaskan pakaian itu ia jauh dari shalatnya, maka hendaknya menghentikan shalat dulu untuk itu dan memulai shalatnya dari awal, seperti halnya bila teringat bahwa ia tidak dalam keadaan suci atau batal wudhunya saat shalat, atau batal shalatnya karena tertawa atau lainnya saat shalat.
[Fatawa Al-Mar’ah, halaman 36]
SHALAT DENGAN PAKAIAN YANG TERKENA KENCING ANAKNYA
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ketika menempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat, pakaian seorang wanita terkena najis berupa air kencing anaknya dan tidak mungkin baginya untuk mengganti pakaian tersebut, karena seluruh pakaiannya ada di dalam bagasi pesawat, apakah boleh baginya untuk shalat dengan pakaian yang bernajis itu ataukah ia harus menanti hingga pesawat itu sampai di darat, dan perlu diketahui jika pesawat itu sampai di darat maka ia akan kehabisan waktu shalat?
Jawaban
Hendaknya ia melakukan shalat pada waktunya walaupun harus menggunakan pakaian yang bernajis karena ia mendapat halangan untuk membersihkan pakaian itu atau untuk menggantinya, dan tidak perlu baginya untuk mengulangi shalat itu berdasarkan firman Allah.
“Artinya : Bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [At-Taghabun : 16]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampu kalian, dan jika aku melarang kalian pada suatu hal maka tinggalkanlah hal tersebut” [Muttafaq Alaih]
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta VII/338 no. 12087]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin Lc, Penerbit Darul Haq]
HUKUM MENUTUP KEDUA TELAPAK TANGAN DAN KEDUA TELAPAK KAKI DALAM SHALAT
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukumnya menutup kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki dalam shalat ?
Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan : Bahwa tidak diharuskan bagi wanita untuk menutup kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya saat shalat karena keduanya itu bukanlah aurat. Ia menyebutkan bahwa inilah pendapat yang benar.
Adapun hadits Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat dengan menggunakan baju dan khimar namun tanpa menggunakan sarung, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : (Boleh) jika baju panjangnya itu dapat menutupi terlihatnya kedua kakinya"
Walaupun hadits ini menunjukkan adanya kewajiban untuk menutupi kedua telapak kaki dalam shalat akan tetapi banyak yang menyatakan bahwa hadits ini lemah, mereka mengatakan : Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah baik secara marfu' juga secara mauquf.
Maka perintah kepada wanita untuk menutupi kedua telapak kakinya dan kedua telapak tangannya saat shalat jika tidak ada pria yang bukan makhramnya, membutuhkan dalil syar'i yang menujukkan pada hal itu. Adapun yang diperintahkan kepada wanita adalah menggunakan khimar beserta baju gamis (baju panjang), akan tetapi ungkapan umum yang terdapat dalam sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi.
"Artinya : Wanita adalah aurat"
Menunjukkan bahwa menutup kedua telapak kaki dan kedua telapak tangan adalah merupakan sikap yang lebih behati-hati dalam melaksanakan shalat. Wallahu a'lam
[Zinatul Ma'rah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, hal. 49]
HUKUM WANITA YANG MENGENAKAN CADAR KETIKA SHALAT
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa hukumnya seorang wanita yang mengenakan cadar ketika shalat ?
Jawaban
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni : Makruh hukumnya seorang wanita mengenalan cadar ketika shalat, karena cadar itu akan menghalanginya menyentuhkan kening dan hidungnya ke tempat sujud, hal ini sama hukumnya dengan seorang pria yang menutup mulutnya ketika shalat padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pria untuk menutup mulutnya ketika shalat.
[Zinatul Ma'rah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, hal. 5]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
HUKUM SHALAT DAN PUASA BAGI WANITA HAIDH
Oleh
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa yang dilakukan oleh wanita yang sedang haidh .?
Jawanan
Haram bagi wanita itu untuk melaksanakannya. Shalat dan puasa yang ia kerjakan tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bukankah jika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa" [Muttafaqun 'alaih]
Jika wanita haidh telah mendapatkan kesuciannya, maka ia harus mengqadha puasa dan tidak perlu mengqadha shalat berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha : " Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami mengalami haidh maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat" [Muttafaqun 'alaih].
Perbedaannya -wallahu 'alam- shalat dilakukan berulang-ulang maka jika shalat itu di qadha akan menimbulkan kesulitan bagi wanita itu, lain halnya dengan puasa.
[At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman : 213]
SHALAT DAN PUASANYA WANITA HAIDH
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Kami harap Anda memberi kami tambahan pendapat tentang shalat dan puasa yang dilakukan wanita saat haidh, kami telah banyak menemukan dalil-dalil tentang hal ini dan kami menginginkan yang benar .?
Jawaban
Jika seorang wanita mendapatkan haidh maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu jika ia telah mendapatkan kesuciannya maka ia harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haidh itu dan tidak perlu mengqadha shalatnya, berdasarkan hadist yang diriwayatkan Al-Bukhari dan lainnya, tentang keterangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai kekurangan agama wanita, yaitu sabda beliau.
"Artinya : Bukankah bila seorang di antara kalian jika ia haidh ia tidak shalat dan tidak puasa"
Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Muadzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ?". Maka Aisyah berkata : Apakah engkau Haruri ? Dia berkata : Saya bukan orang Haruri, tapi saya bertanya, maka Aisyah berkata : "Kami juga mengalami haid di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya]
Sebenarnya ini merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, Allah tidak mewajibkan untuk mengqadha shalat karena shalat dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali dalam sehari, begitu juga dengan haidh yang terus menerus terjadi setiap bulanm pada diri wanita, yang mana jika shalat itu haris diqadha maka hal ini akan menimbulkan kesulittan yang besar. Adapun puasa, dikarenakan kewaijban itu hanya sekali dalam setahun, maka kewajiban itu tidak berlaku saat haidh, ini pun merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, lalu Allah memerintahkan kepada wanita itu untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan agar tercapainya kemaslahatn syari'ah bagi wanita itu.
[Majalah Al-Buhut Al-Islamiyah 26/83]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentan Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal.155-136 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Bolehkah Wanita Nifas Melaksanakan Shalat, Puasa, Haji Sebelum Genap Empat Puluh Hari Masa Nifasnya
TIDAK SADAR SELAMA DUA HARI KARENA SAKIT AKAN MELAHIRKAN TETAPI TIDAK MENGELUARKAN DARAH, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT
Oleh
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di
Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita mengalami sakit karena hendak melahirkan hingga tidak sadar selama dau hari namun ia belum mengeluarkan darah, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat atau tidak ?
Jawaban
Ya, diharuskan baginya untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama dua hari iu, karena ketidaksadaran yang disebabkan penyakit atau rasa sakit dll. Tidak menggugurkan kewajiban shalat seseorang, juga wanita itu belum mengeluarkan darah sehingga ia belum dikenakan hukum nifas.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 99]
BOLEHKAH WANITA NIFAS MELAKSANAKAN SHALAT, PUASA DAN HAJI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI MASA NIFASNYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah wanita nifas boleh melakukan puasa, shalat dan haji jika ia sudah suci sebelum sampai hari keempat puluh dari sejak ia melahirkan ?
Jawaban
Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empat puluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh disini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhi sebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil ijtihadnya. Pendapat yang benar adalah dibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan, dan jika darah itu kembali lagi sebelum hari keempat puluh maka darah yang keluar itu dianggap sebagai darah nnifas, akan tetapi puasnya, shalatnya dan hajinya yang ia lakukan di masa suci itu adalah sah dan tidak perlu diulang.
[Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/43]
BOLEHKAH SAYA SHALAT KETIKA SAYA MERASAKAN SAKIT KARENA MELAHIRKAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin ditanya : Bolehkah saya melaksanakan shalat ketika saya merasakan sakit karena melahirkan .?
Jawaban
Seorang wanita melakukan shalat harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, akan tetapi jika ia mengeluarkan darah sehari sebelum ia melahirkan maka darah itu dianggap darah haidh, jika demikian maka tidak boleh melakukan shalat pada hari itu. Adapun jika ia tidak mengeluarkan darah, maka ia tetap diwajibkan melaksanakan shalat walaupun ia sedang merasa sakit karena proses kelahiran, sebagaimana orang sakit yang tetap diwajibkan shalat walaupun ia sedang sakit, karena adanya penyakit itu tidak menggugurkan kewajban shalat pada seseorang.
[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Al-Jibrin, halaman 35]
HUKUM PUASA DAN SHALAT BAGI WANITA NIFAS
Oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apa hukum shalat dan puasa bagi wanita nifas ?
Jawaban
Diharamkan bagi wanita nifas untuk melaksanakan puasa, shalat atau thawaf di Ka'bah, sebagaimana diharamkan bagi wanita haidh, akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha puasa fardhu yang ia tinggalkan selama masa nifas sebagaimana wanita haidh.
[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 19]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 162-164 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
MELURUSKAN KEKELIRUAN IMAM ∗
AlUstadz`AunurRofiq bin Ghufron
Meluruskan kekeliruan imam merupakan kewajiban umat Islam yang berilmu. Kekeliruan imam dalam sholat tidak hanya berakibat bumk kepadadirinya saja, tetapi akan mewariskan kesesatan kepada umat. Oleh karena itu wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada yang kebenaran setelah mengetahui dalilnya.Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi karenakehilangan wibawa. Malu dihadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapanmanusia. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang haq dan memudahkan kitauntuk menerima dan mengamalkannya. Dan memperlihatkan kepada kita yang batildan memudahkan kita untuk menjauhinya.
Sholat merupakan ibadah yang paling pokok setelah seseorang berikrar mengucapkandua syahadat. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa dikurangi atau ditambah, karena Rosululloh telah memberi contoh langsung kepada
sahabatnya. Para sahabat telahmelihat sholat beliau setiap hari, dari takbir hingga salam. Bahkan beliau menyuruhumatnya agar mengikuti sholatnya tanpa menambah atau mengurangi.
Rosululloh berpesan kepada sahabatnya, yang juga untuk semua umatnya:
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.1
Berpijak dengan hadits di atas, maka kita selaku imam wajib mempelajari tuntunan
sholat sesuai dengan sunnah Rosululloh.
Beberapa Kekeliruan Imam
1.Berpakaian sangat tipis sehingga Nampak auratnya.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ketika ditanya bagaimana hukumnya seseorang yang sholat dengan memakai baju luar sangat tipis berwarna putih, tidak memakaikain dalam, melainkan celana pendek yang menutupi sebagian paha saja, sedangkankulit badannya terlihat.
Beliau menjawab:
"Jika orang itu memakai celana pendek tidak menutupi perut sampai lututnya, sedangkan baju luarnya tipis sekali, orang itu pada hakikatnya belum menutupi aurot, karena istilah menutupi aurot hendaknya menutupi badan sehingga, tidak kelihatan kulimya.
Allah berfirman:
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. (QSAl-A'rof:31)".
Rosululloh ketika melihat sahabat Jabir bin Abdulloh datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sangat sempit sehingga membentuk semua tubuhnya beliau menasihatinya:
"Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai di atas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badanmu".2
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata:
"Ulama' telah sepakat, bahwa orang yang sholat sedangkan kulitnya kelihatan (karena pakaiannya yang sangat tipis) padahal ia mampu menutupi aurotnya dengan pakaian tebal, maka sholatnya tidak sah." 3
Imam Syafi'i berkata:
"Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulimya, maka tidak sah sholatnya".4
2.Mengenakan pakaian luar yang sangat sempit
Imam hendaknya mengenakan pakaian yang lapang dan luas, tidak boleh sempit bagian Iuarnya, karena akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu'an sholat, bahkan akan membatalkan sholat apabila dia memakai kaos dan celana sempit, sehingga apabila ruku' dan sujud kelihatan sebagian kulit punggungnya.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan berkata:
"Barangsiapa sholat memakai celana sempit 5, sedangkan dia memakai kemeja pendek, pada waktu ruku' dan sujud tertarik kemejanya sehingga kelihatan sebagian punggungnya yang seharusnya tertutup, maka batal sholatnya. Ini adalah dampak buruk dan memakai pakaian yang diimpor dari orang barat".6
3.Mengenakan pakaian bergambar
Hendaknya pakaian imam bersih dari gambar dan lukisan, agar tidak mengganggu ketenangan orang yang sedang sholat. Dalilnya:
Dari Aisyah dia berkata:
Rosululloh memakai khomishah 7 miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal8 milik Abi Jahm bin Khudzaifah.9
Dari Anas ia berkata:
'Aisyah mempunyai tabir 10 dibuat untuk tabir kamar rumahnya. Nabi menyuruh 'Aisyah: Jauhkanlah tabir ini, sebab gambar dan lukisannya senantiasa mengganggu sholatku.11
4.Isbal (menutupmatakaki)
Imam tidak boleh mengenakan pakaian yang terlalu panjang hingga menutupi masa kaki. Maka hendaknya dia mengenakannya di atas mata kaki atau ditengah betisnya.
Dalilnya:
Dari Abu Huroiroh ia berkata:
Tatkala ada seorang laki-laki sholat mengenakan sarung yang menutupi mata kakinya. Nabi menyuruh dia pergi agar berwudlu. Orang itu pergi untuk berwudlu lalu datang. bellau menyuruhnva pergi lagi, ada seorang laki-laki hertanya: "Wahai Rosululloh mengapa engkau eristab dia berwudlu lagi?". Beliau berpaling, lalu heliau berkata: "Orang itu shalat tetapi sarungnya menutupi masa kakinya. Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang laki-laki yang musbil.12.13
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bias Hasan menukll fatwa dari Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan hadits di atas:
"Maksud hadits ini -wallahu a'lam bishshowab- bahwa menutupkan sarung sampai mata kaki termasuk perbuatan maksiat, setiap orang yang melakukan kemaksiatan diperintah agar berwudlu dan sholat, karena wudlu itu bisa membakar kemaksiatan".14
5.Merasa paling berhak menjadi imam karena usianya yang lebih tua
Seseorang diangkat (dipilih) menjadi imam bukanlah karena usianya, tapi yang paling bagus lagi tartil bacaan AlQur'annya. Dan jika mungkin, yang paling banyak hafalannya.
Dalilnya:
Dari Abu Mas'ud Al-Anshory ia berkata: Rasulullah bersabda:
Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila mereka sama didalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti sunnah, jika mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang paling pertama hijrahnya, jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang lebih dahulu masuk Islamnya. Riwayat lain berbunyi: kemudian yang paling tua umurnya".15
Lembaga Fatwa'Ulama Saudi Arabia berfatwa:
aqrouhum yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya.16
6.Tidak lancer membaca ayat Al-Qur’an dan tidak faham tajwid dan makhrojnya.
Imam hendaknya berusaha untuk mempelajari makhroj dan tajwidul Qur'an, agar bacaannya benar, dapat menambah kekhusyuan dan tidak meresahkan makmum disebabkan tidak benamya bacaan imam.
Nabi bersabda:
orang yang mahir membaca AlQur'an bersama-sama dengan malaikat yang mulia yang baik, dan hiasilah Al-Qur'an itu dengan suaramu.17
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang imam yang tidak baik bacaan ayatnya, beliau menjawab:
"Hendaknya kamu berusaha menghafalkan surat-surat AlQur'an dengan tajwid dan memperhatikan makhrojnya. Aku merasa optimis -dengan izin Allah- kamu akan mampu menghafalkannya apabila ada usaha dan kesungguhan.18
7.Tidak memperhatikan jarak sutroh (batastabir) didepannya.
Yang benar, imam hendaknya sebelum bertakbir, berdekatan dengan sutroh (tabir) didepannya. Dalilnya:
Dari Sahl bin Abi Hasmah sampailah berita kepada Nabi , lalu Beliau berkata:
Apabila salah satu diantara kamu akan melaksanakan sholat menghadap ke tabir (depan), hendaklah dekat dengan tabirnya, syetan tidaklah mampu memutus sholatnya.19
Dalil jarak antara tempat berdiri Nabi dengan tabir depannya tiga hasta:
Bilal berkata: Selanjutnya Rosululloh sholat, sedangkan jarak antara tempat beliau berdiri dengan dinding di depannya adalah tiga hasta. (HR. Imam Ahmad)
Dalil jarak antara tempat sujud imam dengan dinding semisal berlalunya kambing:
Dari Sahl bin Sa'ad ia berkata:
Antara tempat sujud Rosululloh dan tembok semisal tempat yang bisa dilalui kambing.20
8.Tidak menghadap lurus kearah kiblat.
Imam tidak menghadap kiblat, tetapi serong beberapa derajat ke arah kanan (ke arah utara), padahal posisi kiblat sudah benar. Yang benar imam lurus menghadap kiblat. Dari Jabir bin Abdillah ia berkata:
Rosululloh apabila sholat (sunnah) di atas kendaraannya, beliau menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap, tetapi apa bila beliau ingin menjalankan sholat wajib, beliau turun dan menghadap kekiblat.21
9.Tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.
Sebelum imam bertakbirotul ihram tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Yang benar, sebelum bertakbirotul ihrom hendaknya imam menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Dalilnya:
Anas bin Malik berkata: Ketika selesai qomat, Rosululloh menghadap ke arah kami dengan wajahnya. seraya berkata: Luruskan shofmu, rapatlah, karena aku melihatmu dari belakang punggungku.22
10.Hanya melihat shof makmum sebelum bertakbirotulihrom.
Yang benar, imam menghadap kepada makmum dan melihat shof sambil berpesan: sawwushufufakum (luruskan barisanmu), tarooshuu (rapatkan shofmu), suddulkholal (rapatkan yang masih renggang) dan kalimat semisalnya. Dalilnya:
Dari Anas bin Malik dari Nabi beliau berkata: sawwuushufufakum (luruskan shofmu) karena lurusnya shof termasuk menegakkan shalat.23
Didalam riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda:
Haadzuubainalmanakib (rapatkan antara pundak), suddulkholal (tutuplah yang kosong).
11.Melafadz kanniat dengan bacaan usholli
Ketika akan bertakbirotul ihram imam melafadzkan niat24 bahkan kadang-kadang mengeraskannya. Niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, sebab ucapan yang pertama pada waktu sholat ialah takbir "Allohu Akbar" sebagaimana sabda NabiMuhammad:
Dari 'Aisyah, dia berkata: Rosululloh memulai sholatnya dengan takbir, selanjutnya beliau membaca alhamdulillahi rabbil 'alamin.25
Imam Nawawi berkata:
"Niat hendaknya hadir bersamaan dengan membaca takbirotul ihram".26
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata
"Melafadzkan mat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad bahkan perbuatan itu termasuk bid'ah".27
12.Berulang-ulang mengangkat kedua tangannya ketika bertakbirotulihrom.
Yang benar mengangkat tangan ketika bertakbirotul ihram hanya sekali, sebagaimana contoh dari Nabi dan para sahabatnya.
Ibnul Qoyyim Aljauzy berkata:
"Di antara macammacam waswas yang merusak sholat ialah mengulangulangi sebagian kalimat, seperti ketika duduk bertahiyyat membaca at..at..attahi..attahiyatu, pada waktu salam membaca as..as..assaa..assalamu'al dan ketika bertakbir ak..ak..ak..akbar atau semisalnya. Pengulangan itu pada dzohimya membatalkan sholat. Jika yang melakukan imam maka diatelah merusak sholat makmum.28
13.Bersedekap diatas lambung kiri
Yang benar adalah bersedekap dengan meletakkan telapak tangan kanan di alas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan kiri, atau di atas lengan tangan kiri, lalu diletakkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kadang kala menggenggam tangan kiri dan kadangkala tidak. Dalilnya:
Dari Abu Huroirah dia berkata: Rosululloh melarang meletakkan Iangan di alas lambung ketika shalat. (HRAbuDawud).
Adapun dalil contoh bersedekap menurut sunnah:
Selanjutnya Rosululloh meletakkan tangan kanannya di alas tapak tangan kiri, (atau) di alas pergelangan (langan kiri) atau dl alas lengan kiri.29
Lalu beliau meletakkan dua tangannya di alas dada, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab shohihnya: 1/54.
14.Membaca AI-Fatihah terlalu cepat, menyambung ayat dengan ayat yang lain (tidak berhenti setiap ayat).
Yang benar, imam ketika membaca surat Fatihah atau surat yang lain pada waktu sholat hendaknya berhenti setiap ayat. Rosululloh memberi contoh kepada sahabatnya membaca Fatihah ayat demi ayat, membaca Basmalahir Rahmaanir Rahiim lalu berhenti, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin lalu berhenti, Ar-Rahmaanir Rahiim lalu berhenti dan demikianlah seterusnya. Demikian pula bacaan beliau untuk setiap surat, beliau berhenti setiap pangkal ayat dan tidak menyambungnya.30
15.Membaca robbighfirli seusai membaca Fatihah.
Yang benar, Imam setelah membaca surat Fatihah dengan jahr, hendaknya membaca aamiin dengan suara keras pula. Adapun dalilnya sebagaimana point . Adapun membaca robbighfirli setelah membaca Fatihah termasuk amalan bid'ah.
16.Tidak mengucapkan ’amin’ dengan suara keras
Yakni usai membaca Fatihah pada dua roka'at pertama sholat jahr.
Yang benar: ketika Imam membaca Fatihah dengan suara keras hendaknya membaca aamiin dengan suara keras. Dalilnya:
Dari Wail bin Hujr ia berkata: Rasulullah apabila selesai membaca waladh dhaaalliiin, beliau membaca aamiin dengan suara keras.31
17.Memanjangkan bacaan takbir
Membaca takbir intiqol32 dengan melanturkan suara, seperti: ...aaaaallahuakbar atau
...allaaaaahuakbar atau ..aaallaaaaahuakbaaaaar. Bacaan takbir yang benar ialah allaahu akbar (huruf lam jalalah dibaca dua harokat), baik pada waktu takbirotul ihram atau takbir intiqol, karena bacaan yang seherusnya dibaca pendek lalu dibaca panjang akan merubah makna.
Ibnu Hazm berkata:
"Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi harus mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku', sujud, berdiri dan duduk kecuali hams sempuma bacaan takbimya".33
18.Tergesa-gesa dalam setiap gerakan, sehingga hilang kekhusu’annya.
Yang benar setiap gerakan hendaknya disertai dengan tuma'ninah, karena Nabi pernah menyuruh orang agar mengulangi shalatnya ketika sholamya terlalu cepat. Beliau bersabda:
...maka apabila kamu ruku', letakkan dua tapak tanganmu di atas dua lututmu, ulurkan punggungmu, kokohkan ruku'mu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari ruku') luruskan Wang rusukmu sehingga kembali tulang itu kepada persendiannya, jika kamu sujud maka kokohkan sujudmu, jika kamu mengangkat kepalamu. (dari sujud) duduklah di atas pahamu yang kiri, selanjutnya kerjakan itu semua setiap ruku' dan sujud.34
19.Mengusap wajah dengan tangan setelah mengucapkan salam
Yang benar, setelah salam tidak mengusap muka dengan tangannya, karena tidak ada contoh dari Nabi. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya tentang hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab:
Tidak ada tuntanannya, tetapi jika mengusap mukanya sebelum salam hukumnya makruh, karena Nabi ketika salam pada waktu sholat subuh, dahinya kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya.35
20.Tidak menghadap kepada makmum setelah salam
Biasanya imam tetap menghadap kekiblat setelah salam atau menghadap ke utara (arah kanan kiblat). Yang benar, setelah salam imam boleh menghadap kiblat sebentar saja untuk istighfar 3 kali dan berdzikir seperti dzikir Nabi dibawah ini:
Dari 'Aisyah dia berkata: Nabi apabila setelah salam, beliau tidak duduk melainkan kira-kira membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." 36
Syalkhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Tidak layak bagi imam duduk setelah salam menghadap kiblat melainkan untuk beristighfar 3 kali dan membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." 37
Rosululloh apabila selesai salam, mengbadap kepada makmum, dalilnya: Kemudian bellau salam, lalu bellau menghadap ke arah kami.38
Beliau duduk lama setelah salam menghadap kepada makmum bila ada kepentingan, seperti memberi nasihat dll. Dalilnya:
Dari Anas, dia berkata: Rosululloh pernah mengimami kami pada suatu hari, setelah bellau salam beliau menghadap kepada kita, lalu beliau memberi nasihat: "Wahai manusia ... (HR Muslim Kitabus Sholat).
21.Memimpin dzikir dan membaca Fatihah bersama-sama setelah salam
Yang benar, dzikir setelah sholat diakukan sendiri-sendiri bagi yang berhajat. Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa:
"Sedangkan petunjuk Nabi bahwa beliau berdzikir dan berdo'a sendirian, beliau tidak pemah mengomando sahabatnya untuk berdzikir bersam-sama. Adapun sebagian manusia membaca Fatihah dan do'a bersama-sama dikamando oleh imam setelah shalat termasuk amalan bid'ah." 39
22.Berdoa dengan berjama’ah
Selepas sholat wajib, Imam mengomando doa dengan mengangkat tangan, sedangkan makmum mengamininya. Lembaga Fatwa 'Ularna Saudi Arabia berfatwa:
"Berdo'a dengan mengangkat tangan setelah sholat wajib, dilaksanakan bersama-sama, dengan dikomando oleh imam atau sendirian hukumnya bid'ah, karena Nabi dan para sahabatnya tidak pemah mengamalkannya. Adapun berdo'a setelah shalat tanpa angkat tangan (dan tanpa dikomando oleh imam) tidak mengapa karena ada hadits yang lain yang membolehkannya".40
23.Berjabat tangan dengan makmum
Di banyak tempat hal ini sering terjadi, yaitu antara imam dan seluruh makmum bejabat tangan selepas salam, atau ketika akan meninggalkan tempat. Hal ini tidak benar. Karena tidak disyariatkan berjabat tangan setelah sholat, baik antara imam dengan makmum maupun antara makmum dengan makmum yang lain. Lain halnya apabila setelah salam kita menjumpai saudara kita yang baru datang, maka hal ini tidak termasuk dalam kategori larangan berjabat tangan setelah sholat.
Syaikh Abdul Aziz binBaz berkata:
"...Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian manusia, makmum bergegas-gegas berjabat tangan dengan imam setelah salam tidak ada dalilnya. Amalan itu dibenci, karena setelah sholat hendaknya membaca dzikir sebagaimana yang dicontohkan Rosululloh".41
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Salman berkata:
"Kesimpulannya, mengucapkan salam dan berjabat tangan disyariatkan ketika datang dari bepergian dan ketika berpisah sekalipun hanya sebentar, sama saja di masjid atau diluar masjid".42
24.Meninggalkan tempat seraya bersholawat
Imam ketika berdiri meninggalkan tempat sholat, membaca shalawat nabi bersama-sama disertai dengan berjabat tangan.
Yang benar, imam meninggalkan tempat sholat tanpa bershalawat nabi, karena membaca shalawat nabi pada waktu sholat disyariatkan ketika duduk tasyahhud, bukan ketika selesai salam.
Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa:
"Membaca shalawat nabi disyariatkan ketika bertasyahud pada waktu sholat wajib maupun sholat sunnah, dan disyariatkan pula ketika akan berdo'a setiap sant setelah membaca alhamdalah dan memuji Allah, karena membaca shalawat nabi mempakan salah satu penyebab dikabulkannya do'a.43
Rosululloh bersabda:
Apabila salah satu diantara kamu ingin berdo'a, maka mulailah dengan mengagungkan dan memuji Nya, kemudian membaca shalawat nabi selanjutnya berdo'alah menurut keinginannya.44
25.Meletakkan seorang makmum dibelakang agak kekanan.
Imam ketika mendapati makmum hanya seorang, diletakkan di belakangnya agak samping kanan. Yang benar, makmum berada di samping kanan sejajar dengan imam, kakinya rapat dengan kaki imam. Imam Bukhori di dalam kitab shohihnya berkata:
Bab hendaknya makmum berdiri di camping kanan sejajar dengan imam, apabila hanya dua orang 45
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan salman berkata:
"Termasuk kesalahan imam, apabila makmumnya hanya yang, lain diletakkan di belakangnya kira-kita satu jengkal, padahal menumt sunnah tidak maju dan tidak mundur, tetapi makmum hendaknya sejajar dengan imam sebelah kanan, sebagaimana yang pemah diamalkan oleh sahabat Abdulloh bin Abbas,& ketika beliau sholat di belakang Nabi sendirian, (lalu beliau menariknya ke sebelah kanannya sejajar dengan beliau".46
26.Meletakkan shof wanita disamping pria dengan dibatasi kain atau dinding.
Shof yang paling ulama unmk wanita dimulai yang paling belakang, sedangkan shof yang paling utama untuk kaum pda dimulat dari yang paling depan. Dengan dalil Dari Abu Hurairoh, ia berkata: Rosalulloh bersabda: sebaik-baik shof untuk kaum pria adalah yang paling awal dan yang paling jelek adalah yang paling akhir. Sebaik baik shof wanita adalah yang paling akhir dan yang paling jelek adalah yang paling awal.47
Demikianlah keterangan sebagian kekeliman imam yang dapat kami saksikan sendiri. Tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak kitajumpai kekeliman imam yang lain dikarenakan kurangnya iimu dinul Islam. Ditambah lagi dengan banyaknya kebid'ahan dan kebodohan yang tersebar di mana-mana, sementara pengetahuan sunnah semakin hari semakin susut.48
∗Disalindarimajalah Al-FurqonEdisi11Th.I1423H hal10-15dan19.
1HRBukhori:KitabulAdzan.
2HR.Bukhari:KitabusSholat.
3LihatFatawaManorulIslam11150.
4KitabAl-Umm1/78.
5pressbody
6Al-QoulMubinFiiAkhthoilMushollin28.
7Khomisah bajuyangberjahitdenganbenangsutraatauhulubinatang.
8yangtidakberlukisandanbergambar
9HR.Bukhori:KitabulLibas.
10(yaknitabir)tipisberwarnalagipenuhdenganlukisan
11HR.Bukhari:KitabulLibas.
12 musbil orang yang melakukan isbal (memakai sarung atau celana yang menutupi mata kakinya).
13HR. Abu Dawud Kitabul Libas, Imam Ahmad, Imam Nasai. Imam Nawawi berkata: "Sanadnya shohih menurut kritena Imam Muslim".
14Al-QoulMubin Fii Akhthoil Mushollin hal.37.
15HRMuslim:KitabulMasajidwalMawadli.
16FatawaLajnahAdDaimahLilbuhusAl-IlmiyahWalIfta7/348.
17HR.ImamBukhariKitabutTauhid.
18Majmu'FatawaIbnuBaz4/393.
19HRAbuDawud.Al-Albani berkata: Imam Hakim menshohihkannya, Imam Adz Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya.
20HRImamBukhori:KitabusSholat.
21HRImamBukhori:KitabusSholat.
22HRImamBukhoriKitabulAdzan.
23HRBukhoriKitabulAdzan.DidalamriwayatBukhoriyanglain,Nabibersabda: Aqiimuushufu-
fakum (luruskanshofmu), tarooshshuu (rapatlah).
24membacausholli....danseterusnya
25HR.Muslim:KitabulSholat.
26SifatusSholatinNabiolehAl-Albani:85.
27Majmu'FatawaIbnuBaz4/202.
28Ighotsatu Lahfan Min Mashoyidis Syaithon1/158.
29HR Abu Dawud Kitahus Sholal. An-Nasai Kitabullftitah. Ibnu Hibban didalam shohihnya (485) Al-Albaniberkata:sanadnyashahih.
30lihat Sifatus Sholatin Nabi oleh AlAlbani96.
31HRAbuDawud:KitabusShalatdengansanadyangshahih.
32adalahtakbirpadasaatpindahgerakanshalat.
33AlMuhalla:4/151.
34HRImamAhmad:MusnadAl-Ku yyin.
35Majmu'FatawaIbnuBaz:4/272.
36HRMuslim:KitabulMasajidWalMawadli'.
37Majmu'FatawaIbnuTimiyah22/505.
38HRMuslim,KitabulMasajidwalMawadli'.
39FatawaLajnahAd-DaimahLilbuhusAl-IlmiyahWalIfta'7/122.
40FatawaLajnahAd-DaimahLilbuhasAl-IlmiyahWalIfta'7/103.
41Majmu'FatawaIbnuBaz4/262.
42Al-QoululMubinFiiAkhthoilMushollin301.
43FatawaLajnahAd-DaimahLi/buhusAi-IlmiyahWalIfta'7/120.
44HRAbuDawud:kitabsholat.
45ShohihBukhori:KitabulAdzan.
46Al-QoululMubinFiiAkhthoilMushallin:222.
47HRMuslim:KitabusSholat.
48Kalimat berikut adalah dari majalah AlFurqon yang kami potong karena itu berupa himbauan yang kami tidak dapat melakukannya.
Kami menghimbau kepada pembaca agar sudi membantu menyampaikan kebid'ahan disekitar tempat tinggalnya masing-masing untuk kami jadikan sebagai bahan dalam menjawab dan menerangkannya-insyaAllah. Karena ingkarulmungkara dalah kewajiban kita semua.
Perjuangan Sang Ayah
Suatu ketika, ada seorang anak perempuan bertanya kepada ayahnya,
tatkala tanpa sengaja dia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang
mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk, disertai suara
batuk-batuk. Anak perempuan itu bertanya: "Ayah, mengapa wajahmu kian
berkerut-merut dengan badan yang kian hari kian terbungkuk?" Ayahnya
menjawab : "Sebab aku laki-laki." Anak perempuan itu bergumam : "Aku
tidak mengerti." Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak
perempuan itu, terus menepuk-nepuk bahunya sambil mengatakan : "Anakku,
kamu memang belum mengerti tentang laki-laki."
Karena penasaran, anak perempuan itu kemudian menghampiri Ibunya seraya
bertanya: "Ibu, mengapa wajah ayah jadi berkerut-merut dan badannya kian
hari kian terbungkuk ?
Dan sepertinya ayah menjadi demikian tanpa ada
keluhan dan rasa sakit ?" Ibunya menjawab : "Anakku, seorang laki-laki
yang bertanggung-jawab terhadap keluarga memang akan demikian." Hanya
itu jawaban sang Ibu.
Anak perempuan itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa. Tetapi dia tetap
saja penasaran, mengapa wajah ayahnya yang tadinya tampan dan gagah
menjadi berkerut-merut dan badannya menjadi terbungkuk-bungkuk ? Hingga
pada suatu malam, anak perempuan itu bermimpi. Di dalam impian itu
seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut. Dan kata-kata yang
terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimat sebagai
jawaban rasa kepenasarannya selama ini.
"Saat Ku-ciptakan laki-laki, Aku membuatnya sebagai pemimpin dan tiang
penyangga dari bangunan keluarga, yang akan menahan setiap ujungnya agar
keluarganya merasa aman, teduh dan terlindungi. Ku-ciptakan bahunya yang
kekar dan berotot untuk membanting tulang menghidupi keluarganya.
Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang
berasal dari tetes keringat yang halal dan bersih sehingga keluarganya
tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapat cercaan dari
anak-anaknya. Demi keluarganya, dia merelakan kulitnya tersengat panas
matahari dan badannya basah kuyup kedinginan tersiram hujan. Yang selalu
dia ingat adalah semua orang menanti kedatangannya dan mengharapkan
hasil dari jerih-payahnya."
"Kuberikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat dirinya
selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa keluh kesah,
walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan kerapkali menerpanya.
Ku-berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi
mencintai dan mengasihi keluarganya didalam kondisi apapun juga,
walaupun tidak jarang anak-anaknya melukai perasaannya, melukai hatinya.
Ku-berikan kerutan di wajahnya agar menjadi bukti, bahwa dia senantiasa
berusaha tenaga dan pikiran untuk mencari cara sehingga keluarganya bisa
hidup dalam keluarga yang sakinah. Ku-jadikan badannya
terbungkuk-bungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai laki-laki yang
bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, dia senantiasa berusaha
mencurahkan seluruh tenaganya demi kelangsungan hidup keluarga.
Ku-berikan kepada laki-laki tanggung-jawab penuh sebagai pemimpin agar
dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan
yang dimiliki oleh laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung-jawab ini
adalah amanah di dunia dan akhirat."
Terbangun anak perempuan itu, dan segera dia berlari, bersuci, berwudhu
dan melakukan shalat malam hingga menjelang subuh. Setelah itu dia
hampiri bilik ayahnya yang sedang berdzikir. Ketika ayahnya berdiri,
anak perempuan itu merengkuh dan mencium telapak tangan ayahnya.
"Aku mendengar dan merasakan bebanmu, ayah."
***
Saudaraku, do'akanlah dia dan berbaktilah kepadanya selagi masih hidup
karena Allah memerintahkan kita demikian dan dia memang menjadi jalan
kelangsungan hidup kita hingga sekarang.
Semoga Alloh SWT memberi HIDAYAH pada diri kita.
Ini cerita tentang Muthia, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima
tahun.
Pada suatu sore, Muthia menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket.
Ketika sedang menunggu giliran membayar, Muthia melihat sebentuk kalung
mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak
berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Muthia sangat ingin memilikinya.
Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum
berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain
yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk
membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik. Namun karena kalung itu
sangat indah, diberanikannya bertanya. "Ibu, bolehkah Muthia memiliki kalung
ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... "
Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Muthia. Dibaliknya
tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Muthia yang memandangnya dengan
penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung
itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten. "Oke ... Muthia, kamu boleh
memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan
karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang
tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"
Muthia mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke
raknya. "Terima kasih..., Ibu"
Muthia sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung
itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung
itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya
dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah,
kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau.
Setiap malam sebelum tidur, ayah Muthia membacakan cerita pengantar tidur.
Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya
"Muthia..., Muthia sayang ngga sama Ayah ?"
"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Muthia sayang Ayah!"
"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu..."
"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek...! Itu kesayanganku juga"
"Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Muthia sebelum
keluar dari kamar Muthia.
Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah
bertanya lagi, "Muthia..., Muthia sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Muthia sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu."
"Jangan Ayah... tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."
kata Muthia seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya
bermain.
Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Muthia sedang duduk
di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Muthia rupanya sedang menangis
diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan.
"Ada apa Muthia, kenapa Muthia ?"
Tanpa berucap sepatah pun, Muthia membuka tangan-nya. Di dalamnya melingkar
cantik kalung mutiara kesayangannya.
"Kalau Ayah mau... ambillah kalung Muthia."
Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Muthia.
Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang
satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... sama cantiknya dengan
kalung yang sangat disayangi Muthia.
"Muthia... ini untuk Muthia. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi
kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau."
Ya, ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung
mutiara imitasi Muthia.
Demikian pula halnya dengan Alloh SWT terkadang Dia meminta sesuatu dari
kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik.
Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Muthia.
Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya
tidak ikhlas bila harus kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas,
karena kita yakin tidak akan Alloh SWT mengambil sesuatu dari kita jika
tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Semoga bermanfaat, amin.
Sakaratul Maut, Siapkah kita untuk menghadapinya ?
"Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar." (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri) (QS. Al-Anfal {8} : 50).
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), "Keluarkanlah nyawamu !" Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Alloh (perkataan) yang tidak benar dan kerena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya". (Qs. Al- An'am : 93).
Cara Malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Alloh, maka Malaikat Izrail mencabut nyawa secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan.
"Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang". (H.R. Ibnu Abu Dunya).
Di dalam kisah Nabi Idris a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan sholat sampai puluhan raka'at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak, setiap malam naik ke langit. Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail. Maka bermohonlah ia kepada Alloh Swt agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Alloh Swt, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris.
"Assalamu'alaikum, yaa Nabi Alloh". Salam Malaikat Izrail,
"Wa'alaikum salam wa rahmatulloh". Jawab Nabi Idris a.s.
Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah Malaikat Izrail.
Seperti tamu yang lain, Nabi Idris a.s. melayani Malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan bersama, namun di tolak oleh Malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya "menghadap". Alloh sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja. Pada suatu hari yang cerah, Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan "tamunya" itu ke sebuah perkebunan di mana pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan.
"Izinkanlah saya memetik buah-buahan ini untuk kita". pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi Idris a.s).
"Subhanalloh, (Maha Suci Alloh)" kata Nabi Idris a.s.
"Kenapa ?" Malaikat Izrail pura-pura terkejut.
"Buah-buahan ini bukan milik kita". Ungkap Nabi Idris a.s. Kemudian Beliau berkata: "Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram".
Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu. Siapakah gerangan ? pikir Nabi Idris a.s.
"Siapakah engkau sebenarnya ?" tanya Nabi Idris a.s.
"Aku Malaikat Izrail". Jawab Malaikat Izrail.
Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya.
"Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku ?" selidik Nabi Idris a.s serius.
"Tidak" Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.
"Atas izin Alloh, aku sekedar berziarah kepadamu". Jawab Malaikat Izrail.
Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam.
"Aku punya keinginan kepadamu". Tutur Nabi Idris a.s
"Apa itu ? katakanlah !". Jawab Malaikat Izrail.
"Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Alloh SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku". Pinta Nabi Idris a.s.
"Tanpa seizin Alloh, aku tak dapat melakukannya", tolak Malaikat Izrail.
Pada saat itu pula Alloh SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris a.s. Dengan izin Alloh Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris a.s. sesudah itu beliau wafat.
Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia kepada Alloh SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali. Alloh mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.
"Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku ?" Tanya Malaikat Izrail.
"Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti". Jawab Nabi Idris a.s.
"Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu". Kata Malaikat Izrail.
MasyaAlloh, lemah-lembutnya Malaikat Maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris a.s. Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita ?
Siapkah kita untuk menghadapinya ?
Pohon apel dan anak kecil
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki
yang senang ber-main? di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia
senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur?an di keteduhan rindang daun?nya. Anak lelaki
itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula,
pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak lagi ber-main? dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu
hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke
sini ber-main? lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang ber-main? dengan pohon lagi." jawab
anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan,
tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang...
tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau
bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel
yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun,
setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat
senang melihatnya datang. "Ayo ber-main? denganku lagi."
kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus
bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk
tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang
semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel.
Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon
apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa
bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak
pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon
apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo ber-main?
lagi denganku." kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin
hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar.
Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang
tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau.
Pergilah berlayar dan ber-senang?lah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan
membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar
dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi
setelah ber-tahun? kemudian.
"Maaf, anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah
tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk
mengigit buah apelmu." jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat."
kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu."
jawab anak lelaki itu.
"Aku benar? tak memiliki apa? lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar?ku yang sudah tua dan sekarat ini."
Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa? lagi sekarang." kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku
sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar? pohon tua adalah tempat
terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring
di pelukan akar?ku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar? pohon. Pohon apel itu
sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang
tua kita. Ketika kita muda, kita senang ber-main? dengan ayah dan
ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan
hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk
memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita
bahagia.
“Ibn Mas’ud r.a. berkata: Ya Rasulullah amal apakah yang lebih disukai oeh Allah ta’la? Bersabda Nabi: Sembahyang tepat pada waktunya. Saya bertanya: Kemudian apakah? Jawab Nabi: Taat bakti pada kedua orang ayah bunda. Saya bertanya: Kemudian apakah? Jawan Nabi: Berjuang jihad fisabilillah (untuk menegakkan agama Allah).” (Buchary,Muslim)